SIKLUS PERKEMBANGAN DAN TUGAS KELUARGA, KOPING KELUARGA
SERTA TEORI PENDEKATAN KEPERAWATAN KELUARGA
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Keluarga
Dosen Pengampu: H. Suprapto, S.Pd, S.Kp, MM

Disusun
Oleh:
Kelompok 3
Febi Bimantara 029PA12133
Manda Mardinal 029PA12139
Hera
Susilawati 029PA12159
Desthi
Damayanti 029PA12160
PROGRAM DIPLOMA 3 KEPERAWATAN
POLTEKES YAPKESBI SUKABUMI
Tahun Akademik 2012/2013
Tahun Akademik 2012/2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada
halangan yang cukup berarti. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah “Keperawatan Keluarga”.
Kami tidak
akan berhasil menyelesaikan makalah ini tanpa ada bimbingan dan bantuan dari
semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Pak
H. Suprapto, S.Pd., S.Kp., MM
selaku dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Keluarga
3. Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memberikan motivasi.
4. Rekan-rekan yang telah memberikan dukungan dalam
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kekurangan, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang ada pada kami. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan tugas ini. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi kami pada khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Sukabumi, September 2013
Penulis
(Kelompok 3)
DAFTAR ISI
Halaman judul.................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................
ii
Daftar Isi..........................................................................................................
iii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
C. Rumusan Masalah............................................................................ 2
D. Sistematika Penulisan...................................................................... 3
BAB II Tinjauan Teori
SIKLUS PERKEMBANGAN DAN TUGAS KELUARGA..................... 4
A. Siklus Kehidupan Keluarga............................................................. 4
B. Area Pengkajian .............................................................................. 40
C. Intervensi Keperawatan Keluarga .................................................. 41
STRES DAN
KOPING.................................................................................. 43
A. Konsep Dasar
Stres Dan Koping .................................................... 43
B. Fase Waktu
Stres Dan Strategi Koping .......................................... 44
C. Teori Stres
Keluarga ....................................................................... 45
D. Stresor Dan Dampaknya ................................................................. 46
E. Strategi Koping Kelurga ................................................................. 47
F. Strategi Koping Disfungsional Keluarga ........................................ 53
G. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Koping ................................. 55
H. Area Pengkajian Keluarga .............................................................. 56
I. Diagnosis Keperawatn Keluarga ...................................................... 58
J. Intervensi Keperawatan Keluarga .................................................... 59
BAB III Simpulandan Saran
A. Simpulan ......................................................................................... 63
B.
Saran ............................................................................................... 64
Daftar Pustaka ................................................................................................. 65
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Teori
perkembangan keluarga menguraikan perkembangan keluarga dari waktu ke waktu
dengan membaginya ke dalam satu seri tahap perkembangan dianggap sebagai
masa-masa stabilitas relatif yang secara kuantitatif dan kualitatif berbeda
dari tahap-tahap berdekatan (Mederer and Hill, 1983). Tentang konsep
tahap-tahap siklus kehidupan tergantung pada asumsi bahwa dalam keluarga
terdapat saling ketergantungan yang tinggi antara anggota keluarga : keluarga
dipaksa untuk berubah setiap kali ada penambahan atau pengurangan anggota
keluarga, atau setiap kali anak sulung mengalami perubahan tahap perkembangan. Misalnya, perubahan dalam peran, penyesuaian terhadap perkawinan,
mengasuh anak dan disiplin terbukti perubahan dari satu tahap ke tahap lain (Mederer dan Bill, 1983). Keluarga
mengambil satu jenis struktur ketika anak-anak masih berusia prasekolah ; struktur
lain ketika orang tua mulai mengikuti puncak hidup dan anak-anak memasuki masa
remaja ; dan akhirnya bentuk struktur yang lain adalah ketika anak-anak mulai
dewasa, menikah dan mulai mandiri.
Teori stress keluarga dari Hill (1949) dan Mc
Cubbindan petterson (1983) dalam Sussman and Steinmetz (1988) mengemukakan
bahwa stressor keluarga yang dapat menjadi suatu krisis, berhubungan dengan
adanya sumber koping keluarga dan persepsi pada stresor tersebut.
Sedangkan sumber koping dan persepsi pada stressor dapat menjadi aspek yang
penting dalam mengembangkan strategi koping keluarga untuk mengatasi
krisis/masalah. Bila keluarga memiliki sedikit sumber kopingnya baik secara
individu maupun kolektif, maka proses koping tidak akan pernah dimulai dan
krisis dapat terjadi ketika terjadi stress.
Boss dalam Sussman and Steinmetz (1988)
mengatakan bahwa sumber koping keluarga merupakan kekuatan individual dan
kekuatan bersama pada saat menghadapi kejadian/stressor sebagai penyebab
stress. Sujmber koping tersebuat antara lain jaminan oekonomi, kesehatan,
pengetahuan sikap (intelegensia), kedekatan, semangat bekerjasama, hubungan
degan yang lain serta dukungan social.
B. Tujuan
Tujuan Instruksional Umum :
Mahasiswa mampu
menjelaskan perkembangan keluarga sesuai dengan tahap perkembangannya dan menjelaskan peran perawat pada
masing-masing tahap, untuk
mengetahui tentang proses dan strategi koping keluarga.
Tujuan
Instruksional khusus :
Mahasiswa mampu :
1. Menyebutkan definisi masing-masing tahap
perkembangan keluarga.
2. Menjelaskan tugas-tugas perkembangan
keluarga sesuai dengan tahap perkembangan keluarga.
3. Menjelaskan masalah-masalah kesehatan yang
terjadi sesuai dengan tahap perkembangan keluarga.
4. Mengidentifikasi diagnosa keperawatan
keluarga yang mungkin muncul pada setiap tahap perkembangan keluarga.
5. Menjelaskan peran perawat pada setiap
tahap perkembangan keluarga.
6.
Untuk mengetahui tentang konsep dasar stress dan koping
7.
Untuk mengetahui tentang fase waktu stress dan strategi koping
8.
Untuk mengetahui tentang teori stress keluarga
9.
Untuk mengetahui tentang factor-faktor yang mempengaruhi koping keluarga
10.
Untuk mengetahui tentang stressor dan dampaknya
11.
Untuk mengetahui tentang strategi koping keluarga
C. Rumusan
Masalah
Apa
itu perkembangan keluarga yang sesuai dengan tahap perkembangannya dan bagaiman peran perawat pada masing-masing
tahap, bagaimana proses
dan strategi koping keluarga.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bab I Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan
latar belakang masalah, tujuan penulisan, rumusan masalah, serta sistematika
penulisan.
2.
Bab II Tinjauan Teori, mengenai Siklus perkembangan
keluarga dan tugasnya, serta koping keluarga.
3.
Bab III Simpulan berisi tentang Simpulan serta Kritik
dan Saran.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
SIKLUS
PERKEMBANGAN DAN TUGAS KELUARGA
Pendekatan perkembangan
keluarga didasarkan pada observasi bahwa keluarga adalah kelompok berusia
panjang dengan suatu sejarah alamiah,
atau siklus kehidupan, yang perlu dikaji juga dinamika kelompok
diinterpretasikan secara penuh dan akrual (Duvall, dan Miller, 1985). Meskipun
setiap keluarga mengalami setiap saat perkembangan dengan cara-caranya yang
unik, semua keluarga dianggal sebagai contoh dari seluruh pola normatif
(Rodger, 1973) dan mengikuti urutan-urutan perkembangan yang universal (Goode,
1959).
Pusat asumsi dasar tentang
teori perkembangan keluarga, seperti yang diuraikan oleh Algous (1978) adalah :
- Keluarga berkembang dan berubah dari waktu ke waktu dengan cara-cara yang sama dan dapat diprediksi.
- Karena
manusia menjadi matang dan berinteraksi dengan orang lain, mereka memulai tindakan-tindakan dan
juga reaksi-reaksi terhadap tuntutan lingkungan.
- Keluarga
dan anggotanya melakukan tugas-tugas tertentu yang ditetapkan oleh mereka
sendiri atau oleh konteks budaya dan masyarakat.
- Terdapat
kecenderungan pada keluarga untuk memulai dengan sebuah awal dan akhir
yang kelihatan jelas.
A. SIKLUS KEHIDUPAN KELUARGA
Dalam siklus kehidupan keluarga terdapat tahap-tahap
yang dapat diprediksi. seperti individu-individu yang mengalami tahap
pertumbuhan dan perkembangan yang berturut-turut, keluarga sebagai sebuah unit
juga mengalami tahap-tahap perkembangan yang berturut-turut.
Tabel 1
: Delapan Tahap Siklus Kehidupan Keluarga
Tahap I :Keluarga Pemula (juga menuju pasangan
menikah atau tahap pernikahan)
Tahap II : Keluarga
sedang mengasuh anak (anak tertua adalah bayi sampai umur 30 bulan)
Tahap III : Keluarga
dengan anak usia prasekolah (anak tertua berumur 2 hingga 6 tahun)
Tahap IV : Keluarga
dengan anak usia sekolah (anak tertua berumur 6 hingga 13 tahun).
Tahap V : Keluarga
dengan anak remaja (anak tertua berumur 13 hingga 25 tahun).
Tahap VI : Keluarga
yang melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak pertama sampai anak terakhir)
yang meninggalkan rumah.
Tahap VII : Orangtua usia pertengahan (tanpa jabatan,
pensiunan).
Tahap VIII : Keluarga dalam masa pensiun dan lansia (juga
menunjuk kepada anggota keluarga yang berusia lanjut atau pensiun) hingga
pasangan yang sudah mengenalinya.
Diadaptasi dari Dupal, 1977 dan Miller, 1985
Tabel 2. Perbandingan Tahap-Tahap Siklus Kehidupan Keluarga menurut Duvall,
Miller, Charter dan McGoldrick
Charter dan McGoldrick
(Perspektif Terapi Keluarga)
|
Duvall dan Miller
(Perspektif Sosiologis)
|
1.
Keluarga antara : dewasa muda
yang belum kawin
2.
Penyatuan keluarga melalui
perkawinan : pasangan yang baru menikah
3.
Keluarga dengan anak kecil
(masa bayi hingga usia sekolah)
4.
Keluarga dengan anak remaja
5.
Keluarga melepaskan anak dan
pindah
6.
Keluarga dalam kehidupan
terakhir
|
Tidak ada yang diidentifikasi di sini, meskipun Duvall menganggap
dewasa muda sedang proses “dilepas”. Karena terdapat waktu yang cukup antara
masa remaja dan pernikahan.
1. Keluarga pemula atau tahap pernikahan.
2. Keluarga sedang mengasuh anak (anak
tertua adalah bayi sampai umur 30 bulan)
3. Keluarga dengan anak usia prasekolah
(anak tertua berumur 2 ½ hingga 5 tahun).
4. Keluarga dengan anak usia sekolah (anak
tertua umur 6 hingga 12 tahun)
5. Keluarga dengan akan remaja (anak tertua
berumur 13 hingga 20)
6.
Keluarga melepaskan anak
dewasa muda (semua anak meninggalkan rumah)
7.
Orangtua usia pertengahan
(tidak ada jabatan lagi hingga pensiun)
8.
Keluarga dalam masa pensiun
dan lansia (mulai dari pensiun hingga pasangan yang meninggal.
|
Adapted from Carter dan McGoldrick, (1988), Duvall and Miller,
(1985)
1.
Variasi Siklus Kehidupan Keluarga
Keluarga-keluarga selalu bervariasi, karena menjalani
tahap-tahap siklus kehidupan keluarga. Tahap-tahap siklus kehidupan keluarga
mengikuti suatu pola yang tidak kaku (Duvall, 1977). Sudah barang tentu bahwa
banyak keluarga saat ini tidak cocok dengan tahap-tahap siklus kehidupan
keluarga inti dengan orang tua dari Duvall atau dari Charter dan McGoldrick.
Variasi-variasi dalam siklus kehidupan keluarga tradisional dapat dilihat pada
keluarga-keluarga dimana pasangan suami istri tidak menikah, dan terdapat
perkawinan sesama homoseksual, orangtua tunggal dan keluarga dengan orangtua
tiri.
Bahkan dalam keluarga inti tradisional dengan dua
orangtua terdapat perubahan dalam penentuan tempo dari tahap-tahap siklus
kehidupan keluarga. Jumlah dewasa muda yang tinggal dengan tua, sendirian, atau
dengan dewasa muda lainnya semakin bertambah (“diantara tahap-tahap siklus
kehidupan keluarga” dari Charter dan McGoldrick). Banyak pasangan menunda
menikah dan memperpendek masa pengasuhan anak (hasil dari KB dan kerja), dan
mempunyai lebih sedikit anak. Dengan perubahan-perubahan ini dan umur harapan
hidup yang lebih lama, terdapat tahun-tahun yang cocok dalam dua tahap terakhir
siklus kehidupan keluarga – tahap usia pertengahan dan tahap pensiunan dan
lansia.
2.
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
Tugas-tugas perkembangan keluarga menyatakan tanggung
jawab yang dicapai oleh keluarga selama setiap tahap perkembangannya sehingga
dapat memenuhi (1) kebutuhan biologis keluarga, (2) imperatif budaya keluarga,
dan (3) aspirasi dan nilai-nilai keluarga (Duvall, 1977).
Selain
itu, tugas-tugas perkembangan keluarga juga meliputi tugas-tugas spesifik pada
setiap tahap yang melekat dalam pelaksanaan lima fungsi dasar keluarga yang
terdiri dari (1) fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian) ; (2) fungsi
sosialisasi dan penempatan sosial ; (3) fungsi perawatan kesehatan – penyediaan
dan pengelolaan kebutuhan-kebutuhan fisik dan perawatan kesehatan ; (4) fungsi
reproduksi ; dan (5) fungsi ekonomi.
Tantangan nyata bagi keluarga adalah memenuhi setiap
kebutuhan anggota keluarga, dan juga untuk memenuhi fungsi-fungsi keluarga
secara umum. Pertautan kebutuhan-kebutuhan perkembangan individu dan keluarga
tidak selalu mungkin dilakukan. Misalnya, tugas anak usia bermain yang meliputi
mengeksplorasi lingkungan seringkali bertentangan dengan tugas seorang ibu
memelihara rumah yang teratur.
3.
Tahap-Tahap Siklus Kehidupan Keluarga Inti dengan Dua
Orangtua
Tahap-tahap ini terdiri dari 9 tahap siklus kehidupan
keluarga (Tabel 2). Tahap-tahap siklus kehidupan keluarga ini menggambarkan
keluarga inti Amerika yang utuh, tapi terbatas pada aplikabilitas
keluarga-keluarga dengan orangtua tunggal, cerai dan tiri. Masalah-masalah
kesehatan juga dibicarakan dalam setiap tahap siklus perkembangan keluarga.
Tahap Transisi : Keluarga antara (Dewasa Muda yang Belum Kawin)
Tahap ini menunjuk ke masa dimana individu berumur 20
tahunan yang telah mandiri secara finansial, dan secara fisik telah
meninggalkan keluarganya namun belum berkeluarga. Tahap-tahap keluarga antara
tidak dianggap tahap siklus kehidupan keluarga oleh Duvall dan sosiolog
lainnya. Namun, karena masa ini umumnya dialami seseorang (remaja tidak keluar
secara langsung dari keluarga asalnya dan membentuk keluarga, seperti yang sering
ditemukan pada masa lalu). Tahap
ini benar-benar diabaikan oleh para profesional perawatan kesehatan keluarga
dan para ahli terapi keluarga (Aylmerm 1988).
Tahap keluarga dianggap oleh
Aymer (1988) dan ahli-hali terapi lainnya sebagai dasar bagi semua tahap
berikutnya : bagaimana dewasa muda melewati tahap ini sangat mempengaruhi siapa yang dinikahinya dan juga kapan dan
bagaimana pernikahan berlangsung. Untuk melewati tahap
ini dengan sukses, dewasa muda harus pisah dari keluarga asalnya tanpa
memutuskan atau secara reaktif berhubungan dengan pergantian yang emonsional.
Tugas-Tugas Perkembangan.
Tahap ini adalah tahap “keluarga antara”, tugas-tugas
perkembangannya bersifat individual, bukan berorientasi pada keluarga. Carter
dan McGoldrick (1980) menjelaskan bahwa tugas perkembangan utama dari dewasa
muda yang belum kawin adalah “menerima keluarga asalnya” (hal. 13). Tiga tugas
perkembangan yang dicantumkan oleh Carter dan McGoldrick (1988, hal. 15) :
- Pembedaan diri dalam hubungannya dengan keluarga asalnya.
- Menjalin
hubungan dengan teman sebaya yang akrab.
- Pembentukan diri yang berhubungan dengan kemandirian pekerjaan dan finansial.
Tabel 3. Tahap Transisi :
Keluarga Antara dan Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga yang Bersamaan.
Tahap Siklus
Kehidupan Keluarga
|
Tugas-Tugas
Perkembangan Keluarga
|
Tahap Transisi :
Keluarga antara
|
1.
Pisah dengan keluarga asal.
2. Menjalin hubungan intim dengan teman sebaya.
3. Membentuk kemandirian dalam hal
pekerjaan dan finansial.
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988),
Duvall dan Miller (1985)
Sudah waktunya dewasa muda membentuk tujuan hidup pribadi dan perasaan bangga akan
diri sendiri sebelum hidup bersama orang lain dalam sebuah ikatan perkawinan.
(Tabel 3) umumnya hal ini merupakan tahap transisi yang sulit, karena
memisahkan diri dari keluarga asal baik secara fisik, finansial maupun
emosional umumnya lambat di banyak keluarga saat ini.
Tahap ini secara khusus
dialami secara berbeda-beda, tergantung pada jenis kelamin seseorang. Pria
umumnya diajarkan untuk mengejar identitas ekspresi diri, sedangkan wanita
pengorbanan diri. Karena pria dan wanita dewasa muda mengalami masa belum
kawin, mereka mempunyai isu identitas yang berbedakan untuk diselesaikan. Keseimbangan antara
otonomi dan cinta dibutuhkan dalam membina hubungan dan bekerja, tapi pria
umumnya berjuang dengan isu-isu cinta dan hubungan, sementara wanita berjuang
dengan isu-isu otonomi.
Masalah-Masalah Kesehatan.
Selama masa transisi ini, masalah-masalah pribadi maupun masalah
keluarga. Penggunaan keluarga berencana dan pengendalian kelahiran merupakan
masalah dan kebutuhan utama. Penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual
(STD) lebih sering ditemukan dalam kelompok ini (penyakit kelamin, AIDS, dll).
Kecelakaan dan bunuh diri merupakan penyebab utama moralitas. Masalah-masalah
kesehatan mental juga umum terjadi, dan seperti dijelaskan diatas, terutama
menghadapi isu pisah dengan cara fungsional dari keluarga asal sehingga
hubungan homoseksual yang intim dan sehat dapat dijalin.
a.
Tahap I : Keluarga Pemula
Perkawinan dari sepasang insan menandai bermulanya
sebuah keluarga baru – keluarga yang menikah atau prokreasi dan perpindahan
dari keluarga asal atau status lajang ke hubungan baru yang intim. Tahap
perkawinan atau pasangan menikah saat ini berlangsung lebih lambat.
Tugas-Tugas Perkembangan
Keluarga
Menciptakan sebuah perkawinan yang saling memuaskan,
menghubungkan jaringan persaudaraan secara harmonis, dan keluarga berencana
merupakan tiga tugas perkembangan yang penting dalam masa ini (Tabel 6-4).
1)
Membangun Perkawinan yang Saling Memuaskan
Ketika dua orang diikat dalam ikatan
perkawinan, perhatian awal mereka adalah menyiapkan suatu kehidupan bersama
yang baru. Sumber-sumber dari dua orang digabungkan, peran-peran mereka
berubah, dan fungsi-fungsi barupun diterima. Belajar hidup bersama sambil
memenuhi kebutuhan kepribadian yang mendasar merupakan sebuah tugas
perkembangan yang penting. Pasangan harus saling menyesuaikan diri terhadap
banyak hal kecil yang bersifat rutinitas. Misalnya mereka harus mengembangkan
rutinitas untuk makan, tidur, bangun pagi, membersihkan rumah, menggunakan
kamar mandi bergantian, mencari rekreasi dan pergi ke tempat-tempat yang
menyenangkan bagi mereka berdua. Dalam proses saling menyesuaikan diri ini,
terbentuk satu kumpulan transaksi berpola dan lalu dipelihara oleh pasangan
tersebut, dengan setiap pasangan memicu dan memantau tingkah laku pasangannya.
Tabel 4. Tahap Pertama Siklus
Kehidupan Keluarga Inti dengan Dua Orang Tua, dan Tugas-Tugas Perkembangan yang
bersamaan.
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga
|
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Keluarga Pemula
|
1.
Membangun perkawinan yang
saling memuaskan.
2.
Menghubungkan jaringan
persaudaraan secara harmonis.
3.
Keluarga berencana (keputusan
tentang kedudukan sebagai orangtua)
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988), Duvall dan Miller
(1985)
Pencapaian hubungan perkawinan yang
memuaskan tergantung pada pengembangan cara-cara yang memuaskan untuk menangani
“perbedaan-perbedaan” (Satir, 1983) dan konflik-konflik. Cara yang sehat untuk
memecahkan masalah adalah berhubungan dengan kemampuan pasangan untuk bersikap
empati ; saling mendukung, dan mampu berkomunikasi secara terbuka dan sopan
(Raush et al, 1969) dan melakukan pendekatan terhadap konflik atas rasa saling
hormat menghormati (Jackson dan Lederer, 1969).
Banyak pasangan mengalami
masalah-masalah penyesuaian seksual, seringkali disebabkan oleh ketidaktahuan
dan informasi yang salah yang mengakibatkan kekecewaan dan harapan-harapan yang
tidak realistis. Malahan, banyak pasangan yang membawa kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi kedalam hubungan mereka, dan hal-hal
ini dapat mempengaruhi hubungan seksual secara merugikan. (Goldenberg dan
Goldenberg, 1985).
2)
Menghubungkan Jaringan
Persaudaraan secara Harmonis.
Perubahan
peran dasar terjadi dalam perkawinan pertama dari sebuah pasangan, karena
mereka pindah dari rumah orangtua mereka ke rumah mereka yang baru. Bersamaan
dengan itu, mereka menjadi anggota dari tiga keluarga, yaitu : menjadi anggota
keluarga dari keluarga mereka sendiri yang baru saja terbentuk. Pasangan
tersebut menghadapi tugas-tugas memisahkan diri dari keluarga asal mereka dan
mengupayakan berbagai hubungan dengan orangtua mereka, sanak saudara dan dengan
ipar-ipar mereka, karena loyalitas utama mereka harus diubah untuk kepentingan
hubungan perkawinan mereka. Bagi pasangat tersebut, hal ini menuntut
pembentukan hubungan baru dengan setiap
orangtua masing-masing, yaitu hubungan yang tidak hanya memungkinkan
dukungan dan kenikmatan satu sama lain, tapi juga otonomi yang melindungi
pasangan baru tersebut dari campur tangan pihak luar yang mungkin dapat merusak
bahtera perkawinan yang bahagia.
3)
Keluarga Berencana.
Apakah ini memiliki anak atau tidak
dan penentuan waktu untuk hamil merupakan suatu keputusan keluarga yang sangat
penting. Littlefield (1977)
menekankan pentingnya pertimbangan semua rencana kehamilan keluarga ketika
seseorang bekerja di bidang perawatan maternitas. Tipe perawatan kesehatan yang
didapat keluarga sebagai sebuah unit selama masa prenatal sangat mempengaruhi
kemampuan keluarga mengatasi perubahan-perubahan yang luar biasa dengan efektif
setelah kehamilan bayi.
Masalah-Masalah Kesehatan.
Masalah-masalah utama adalah penyesuaian seksual dan
peran perkawinan, penyuluhan dan konseling keluarga berencana, penyuluhan dan
konseling pranatal, dan komunikasi. Konseling semakin perlu diberikan sebelum
perkawinan. Kurangnya informasi sering mengakibatkan masalah-masalah seksual
dan emosional, ketakutan, rasa bersalah, kehamilan yang tidak direncanakan, dan
penyakit-penyakit kelamin baik sebelum maupun sesudah perkawinan.
Konsep-konsep perkawinan tradisional
sedang ditantang oleh hubungan cinta, perkawinan berdasarkan hukum adat, dan
perkawinan homoseks. Orang yang memasuki perkawinan tanpa pernikahan memerlukan
banyak konseling dari tugas perawatan kesehatan untuk mendapatkan bantuan. Dalam hal ini, perawat keluarga
terperangkap diantara dua “keluarga”, keluarga orientasi dan keluarga
perkawinan.
Keluarga Berencana.
Karena Keluarga Berencana merupakan
tanggungjawab utama dari perawat yang bekerja dengan keluarga, maka bidang ini
perlu dibahas lebih mendalam. Keluarga berencana yang kurang diinformasikan dan
kurang efektif mempengaruhi kesehatan keluarga dalam banyak cara : mobiditas
dan moralitas ibu-anak ; menelatarkan anak ; sehat sakit orangtua ;
masalah-masalah perkembangan anak, termasuk inteligensia kemampuan belajar dan
perselisihan dalam perkawinan. Pembentukan keluarga dengan sengaja dan
terinformasi meliputi membuat keputusan sendiri tentang kapan dan/atau apakah
ingin mempunyai anak, terlepas dari pertimbangan kesehatan keluarga.
Kesehatan
fisik ibu dan anak merupakan masalah utama yang didokumentasikan dalam
penelitian kebidanan dan perinatal. Jarak kelahiran antara 2 dan 4 tahun dan
usia ibu 20 tahunan merupakan faktor-faktor yang menguntungkan dalam mengurangi
mortalitas dan mobiditas ibu dan bayi. Jumlah keluarga yang optimal, jarak dan
waktu kelahiran mengurangi mortalitas bayi (Cohn dan Lieberman, 1974).
Diagnosa yang mungkin pada keluarga pemula:
1.
Gangguan komunikasi verbal
2.
Perubahan proses keluarga
3.
Perubahan penampilan peran
4.
Gangguan interaksi sosial
5.
Disfungsi seksual
Diagnosa yang mungkin pada ibu hamil:
Trimester I
Ø Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
tubuh
Ø ketidaknyamanan
Ø resiko kekurangan volume cairan
Ø resiko cidera terhadap janin
Ø resiko keletihan
Ø resiko konstipasi
Ø resiko infeksi : ISK
Ø resiko gangguan citra tubuh
Ø resiko perubhan penampilan peran
Ø perubahan pola seksualitas
Trimester II
Ø Ketidaknyamanan
Ø Resiko cidera terhadap janin dan ibu
Ø Perubahan pola seksualitas
Ø Perubahan pola nafas
Ø Resiko kelebihan vol cairan
Ø Resiko koping individu tidak efektif
Trimester III
Ø Gangguan pola tidur
Ø Resiko cidera terhadap janin dan ibu
Ø Resiko harga diri rendah situasional
Ø Perubahan eliminasi
Peran perawat
Ø Konselon pada penyesuaian seksual &
peran marital
Ø Gusru konselon dalam perencanaan keluarga
Ø Koordinator untuk konseling menjadi orang tua
Ø Fasilitator dalam hubungan kekerabatan interpersonal
b.
Tahap II : Keluarga yang Sedang Mengasuh Anak
Tahap kedua dimulai dengan kelahiran
anak pertama sehingga bayi berusia 30 bulan. Biasanya orangtua tergetar hatinya
dengan kelahiran pertama anak mereka, tapi agak takut juga. Kekuatiran terhadap
bayi biasanya berkurang setelah beberapa hari, karena ibu dan bayi tersebut
mulai saling mengenal. Akan tetapi kegembiraan yang tidak dibuat-buat ini
berakhir ketika seorang ibu baru tiba di rumah dengan bayinya setelah tinggai
di rumah sakit untuk beberapa waktu. Ibu dan ayah tiba-tiba berselisih dengan
semua peran-peran mengasyikkan yang telah dipercayakan kepada mereka. Peran
tersebut pada mulanya sulit karena perasaan ketidakadekuatan menjadi orangtua
baru ; kurangnya bantuan dari keluarga dan teman-teman, dan para profesional
perawatan kesehatan yang bersifat membantu dan sering terbangun tengah malam
oleh bayi yang berlangsung 3 hingga 4 minggu. Ibu juga letih secara psikologis
dan fisiologis. Ia sering merasakan beban tugas sebagai ibu rumah tangga dan
barangkali juga bekerja, selain merawat bayi. Khususnya terasa sulit jika ibu
menderita sakit atau mengalami persalinan dan pelahiran yang lama dan sulit
atau seksio besar.
Kedatangan bayi dalam rumah tangga
menciptakan perubahan-perubahan bagi setiap anggota keluarga dan setiap
kumpulan hubungan. Orang asing telah masuk ke dalam kelompok ikatan keluarga
yang erat, dan tiba-tiba keseimbangan keluarga berubah setiap anggota keluarga
memangku peran yang baru dan memulai hubungan yang baru. Selain seorang bayi
yang baru saja dilahirkan, seorang ibu, seorang ayah, kakek nenekpun lahir.
Istri sekarang harus berhubungan dengan suami sebagai pasangan hidup dan juga
sebagai ayah dan sebaliknya. Dan dalam keluarga yang memiliki anak sebelumnya,
pengaruh kehadiran seorang bayi sangat berarti bagi saudaranya sama seperti
pada pasangan yang menikah.
Kebanyakan orang tua merupakan
pengalaman penuh arti dan menyenangkan, kedatangan bayi membutuhkan perubahan
peran yang mendadak. Dua faktor penting yang menambah kesukaran dalam menerima
peran orangtua adalah bahwa kebanyakan orang sekarang tidak disiapkan untuk
menjadi orang tua dan banyak sekali mitos berbahaya yang tidak realistis
meromantiskan pengasuhan anak didalam masyarakat kami (Fulcomer, 1977).
Masalah-masalah yang paling lazim dilaporkan adalah :
1.
Suami merasa diabaikan (ini
paling sering disebutkan oleh suami)
2.
Terhadap peningkatan
perselisihan dan argumen antara suami dan istri.
3.
Interupsi dalam jadwal yang
kontinu “begitu lelah sepanjang waktu”, merupakan sebuah kometar khas).
4.
Kehidupan seksual dan sosial
terganggu dan menurun.
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
Setelah lahir anak pertama, keluarga
mempunyai beberapa tugas yang penting (tabel 5). Suami, istri, dan bayi
semuanya belajar peran-peran yang baru sementara keluarga inti memperluas
fungsi dan tanggungjawab. Ini meliputi penggabungan tugas perkembangan yang
terus menerus dari setiap anggota kelurga dan keluarga secara keseluruhan
(Duvall, 1977).
Tabel 5. Tahap Kedua Siklus
Kehidupan Keluarga Inti yang sedang mengasuh anak dan Tugas-Tugas Perkembangan
yang Bersamaan.
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga |
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Keluarga sedang mengasuh anak
|
1.
Membentuk keluarga muda
sebagai sebuah unit yang mantap (mengintegrasikan bayi baru ke dalam
keluarga).
2.
Rekonsiliasi tugas-tugas
perkembangan yang bertentangan dan kebutuhan anggota keluarga.
3.
Mempertahankan hubungan
perkawinan yang memuaskan.
4.
Memperluas persahabatan
dengan keluarga besar dengan menambahkan peran-peran orangtua dan kakek dan
nenek.
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988) ; Duvall dan Miller
(1985)
Kelahiran seorang anak membuat
perubahan-perubahan yang logika dalam organisasi keluarga. Fungsi-fungsi
pasangan suami istri harus dibedakan untuk memenuhi tuntutan-tututan baru
perawatan dan penyembuhan. Sementara pemenuhan tanggungjawab ini bervariasi
menurut posisi sosial budaya suami istri, sebuah pola yang umum adalah untuk
orang tua agar menerima peran-peran tradisonal atau pembagian tanggungjawab (La
Rossa dan La Rossa, 1981).
Hubungan
dengan keluarga besar paternal dan maternal perlu disusun kembali dalam tahap
ini. Peran-peran baru perlu dibuat kembali berkenaan menjadi kakek nenek dan
hubungan antara orangtua dan kakek-nenek (Bradt, 1988).
Tahap kedua
ini perkembangan orangtua adalah belajar untuk menerima pertumbuhan dan
perkembangan anak yang terjadi dalam masa usia bermain – khususnya orangtua
yang baru memiliki anak pertama – membutuhkan bimbingan dan dukungan. Orangtua
perlu memahami tugas-tugas yang harus dikuasai oleh anak dan kebutuhan anak
akan keselamatan, keterbatasan dan latihan buang air (toilet training). Mereka
perlu memahami konsep kesiapan perkembangan, konsep tentang “saat yang tepat
untuk mengajar mereka”. Pada saat yang sama pula orangtua perlu bimbingan dalam
memahami tugas-tugas yang harus mereka kuasai selama tahap ini.
Hubungan
perkawinan yang kokoh dan bergairah sangat penting bagi stabilitas dan moral
keluarga. Hubungan suami istri yang memuaskan akan memberikan pasangan dengan
kekuatan dan tenaga “bagi” bayi dan satu sama lain. Tuntutan-tuntutan dan
tekanan-tekanan yang bertentangan, seperti antara loyalitas ibu terhadap bayi dan terhadap
suami, merupakan persoalan dan dapat menyiksa. Tipe konflik semacam ini dapat
menjadi sumber sentral ketidakbahagiaan selama tahap siklus kehidupan ini.
Masalah-Masalah Kesehatan.
Masalah-masalah
kesehatan lain selama periode dari kehidupan keluarga ini adalah
inaksesibilitas dan ketidakadekuatan fasilitas-fasilitas perawatan anak untuk
ibu yang bekerja, hubungan akan-orangtua, masalah-masalah mengasuh anak
termasuk penyalahgunaan dan kelalaian terhadap anak dan masalah-masalah
transisi peran orang tua.
Kemungkinan diagnosa
Ø Gangguan Nutrisi : kurang dari kebutuhan
tubuh
Ø Disfungsi seksual
Ø Gangguan tumbuh kembang
Ø Menyusui tidak efektif
Ø Resiko cidera
Ø Perubahan penampilan peran
Ø Gangguan komunikasi verbal
Peran perawat
Ø Monitor perawatanprenatal dan perujukan untuk masalah-masalah
kehamilan
Ø Konselor pada nutrisi prenatal
Ø Konselor pada kebiasaan maternal prenatal
Ø Pendukung amnionsintesis
Ø Konselor pada menyusui
Ø Koordinator dengan layanan pediatrik
Ø Penyelia imunisasi
Ø Perujukan ke layanan-layanan tenaga sosial
c.
Tahap III : Keluarga dengan Anak Usia
Prasekolah
Tahap ketiga
siklus kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama berusia 2 ½ tahun dan
berakhir ketika anak berusia 5 tahun. Sekarang, keluarga mungkin terdiri dari
tiga hingga lima orang, dengan posisi suami-ayah, istri-ibu, anak
laki-laki-saudara, anak perempuan-saudari. Keluarga lebih menjadi majemuk dan
berbeda (Duvall dan Miller, 1985).
Kehidupan
keluarga selama tahap ini penting dan menuntut bagi orangtua. Kedua orangtua
banyak menggunakan waktu mereka, karena kemungkinan besar ibu bekerja, baik
bekerja paruh waktu atau bekerja penuh. Namun, menyadari bahwa orangtua adalah
“arsitek keluarga”, merancang dan mengarahkan perkembangan keluarga (Satir,
1983), adalah penting bagi mereka untuk memperkokoh kemitraan mereka secara
singkat, agar perkawinan mereka tetap hidup dan lestari.
Anak-anak
usia prasekolah harus banyak belajar pada tahap ini, khususnya dalam hal
kemadirian. Mereka harus mencapai otonomi yang cukup dan mampu memenuhi
kebutuhan sendiri agar dapat menangani diri mereka sendiri tanpa campur tangan
orangtua mereka dimana saja. Pengalaman di kelompok bermain, taman kanak-kanak,
Project Head Start, pusat perawatan sehari, atau program-program sama
lainnya merupakan cara yang baik untuk membantu perkembangan semacam ini.
Program-program prasekolah yang terstruktur sangat bermanfaat dalam membantu
orangtua dengan anak usia prasekolah yang berasal dari dalam kota dan
berpendapatan rendah. Peningkatan yang tajam dalam IQ dan keterampilan sosial
telah dilaporkan terjadi setelah anak menyelesaikan sekolah taman kanak-kanak
selama 2 tahun (Kraft et al, 1968).
Tugas-Tugas
Perkembangan Keluarga.
Kini, keluarga tumbuh baik dalam jumlah maupun
kompleksitas. Perlunya anak-anak usia prasekolah dan anak kecil lainnya untuk
mengeksplorasi dunia sekitarnya, dan kebutuhan orangtua untuk memiliki privasi
mereka sendiri menjadikan perumahan dan ruang yang adekuat sebagai masalah
utama. Peralatan dan fasilitas-fasilitas juga
perlu bersifat melindungi anak-anak, karena pada tahap ini kecelakaan menjadi
penyebab utama kematian dan cacat. Mengkaji keamanan rumah merupakan hal yang
penting bagi perawat kesehatan komunitas dan penyuluhan kesehatan perlu
dimasukkan sehingga orangtua dapat mengetahui resiko yang ada dan cara-cara
menegah kecelakaan (Tabel 6).
Tabel 6. Tahap III Siklus Kehidupan Keluarga Inti
dengan anak usia pra sekolah dan Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga yang
Bersamaan.
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga |
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Keluarga dengan anak usia Prasekolah.
|
1. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti
rumah, ruang bermain, privasi, keamanan.
2.
Mensosialisasikan anak.
3.
Mengintegrasi anak yang baru
sementara tetap memenuhi kebutuhan anak-anak yang lain.
4.
Mempertahankan hubungan yang
sehat dalam keluarga (hubungan perkawinan dan hubungan orangtua dan anak) dan
di luar keluarga (keluarga besar dan komunitas).
|
Diadaptasi dari Carter dam McGoldrick (1988) ; Duvall dan Miller
(1985)
Kecelakaan, jatuh, luka bakar dan
laserasi juga cukup sering terjadi. Kejadian-kejadian ini lebih sering
ditemukan dalam keluarga besar, keluarga di mana pengasuh dewasa tidak ada
(orangtua sering tidak di rumah), dan keluarga dengan pendapatan rendah.
Keamanan lingkungan dan pengawasan anak yang adekuat merupakan kunci untuk
mengurangi kecelakaan.
Suami-ayah menerima lebih banyak
keterlibatan dalam tanggungjawab rumah tangga selama tahap perkembangan
keluarga ini daripada tahap lain, persentase terbesar dalam tahap ini digunakan
untuk aktifitas perawatan anak. Keterlibatan ayah dalam perawatan anak saat ini
benar-benar penting, karena hubungan ini dengan anak usia prasekolah dapat
membantu anak mengindentifikasi jenis kelaminnya. Khusus bagi anak laki-laki
dalam usia 5 tahun, penting sekali bagi mereka untuk bergaul secara rapat
dengan lingkungan terbatas yang kuat, ayah yang hanya atau pengganti ayah
sehingga identitas peran laki-laki dapat terbentuk (Walters, 1976).
Peran yang lebih matang juga diterima
oleh anak-anak usia prasekolah, yang secara perlahan-lahan menerima lebih
banyak tanggungjawab perawatan dirinya sendiri, plus membantu ibu atau ayah
dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Di sini bukan produktifitas anak yang
penting, melainkan proses belajar yang
berlangsung.
Tugas utama
dari keluarga adalah mensosialisasikan anak. Anak-anak usia prasekolah
mengembangkan sikap diri sendiri (konsep diri) dan dapat secara cepat belajar
mengekspresikan diri mereka, seperti tampak dalam kemampuan menangkap bahasa
dengan cepat.
Pisah dari
orangtua juga sulit bagi anak-anak usia prasekolah. Pisah dapat terjadi karena
orangtua pergi bekerja, ke rumah sakit, melakukan perjalanan atau berlibur.
Persiapan keluarga untuk pisah dengan anak sangat penting dalam membantu anak
menyesuaikan diri terhadap perubahan.
Masalah-Masalah Kesehatan.
Banyak sekali masalah
kesehatan yang telah diidentifikasi sepanjang pembahasan kita tentang keluarga
dengan anak usia prasekolah. Seperti telah dinyatakan sebelumnya, masalah
kesehatan fisik yang utama adalah penyakit-penyakit menular yang lazim pada
anak dan jatuh, luka bakar, keracunan dan kecelakaan-kecelakaan yang lain yang
terjadi selama usia prasekolah.
Masalah-masalah
kesehatan psikososial keluarga yang utama adalah hubungan perkawinan. Beberapa
studi mencoba meneliti menurunnya kepuasan yang dialami oleh banyak pasanga
selama tahun-tahun ini dan perlunya penanganan terhadap masalah ini untuk
memperkokoh dan memberikan semangat pada unit lain yang vital ini.
Masalah-masalah kesehatan lain yang penting adalah persaingan diantara
kakak-adik, keluarga berencana, kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan, masalah-masalah
pengasuhan anak seperti membatasi lingkungan (disiplin), penganiayaan dan
menelantarkan anak, keamanan di rumah dan masalah-masalah komunikasi keluarga.
Kemungkinan diagnosa
Ø Resiko cidera
Ø Resiko trauma
Ø Resiko keracunan
Ø Resiko infeksi
Ø Gangguan penanganan pemeliharaan rumah
Ø Perubahan menjadi orang tua
Ø Perubahan pertumbuhan dan perkembangan
Ø Gangguan komunikasi verbal
Peran perawat
Ø Monitor perkembangan awal masa kanak-kanak, perujukan bila ada
indikasi
Ø Pendidik dalam tindakan pertolongan pertama dan kedaruratan
Ø Koordinator dg layanan pediatri
Ø Penyelia imunisasi
Ø Konselor pada nutrisi dan latihan
Ø Pendidik dlm isu pemecahan masalah mengenai kebiasaan kesehatan
Ø Pendidik tentang higiene perawatan gigi
Ø Konselor pada keamanan lingkungan di rumah
Ø Fasilitator dalam hubungan interpersonal
d.
Tahap IV : Keluarga dengan Anak Usia
Sekolah
Tahap ini
dimulai ketika anak pertama telah berusia 6 tahun dan mulai masuk sekolah dasar
dan berakhir pada usia 13 tahun, awal dari masa remaja. Keluarga biasanya
mencapai jumlah anggota maksimum, dan hubungan keluarga di akhir tahap ini
(Duvall, 1977). Lagi-lagi tahun-tahun pada masa ini merupakan tahun-tahun yang
sibuk. Kini, anak-anak mempunyai keinginan dan kegiatan-kegiatan masing-masing,
disamping kegiatan-kegiatan wajib dari sekolah dan dalam hidup, serta
kegiatan-kegiatan orangtua sendiri. Setiap orang menjalani tugas-tugas
perkembangannya sendiri-sendiri, sama seperti keluarga berupaya memenuhi
tugas-tugas perkembangannya sendiri (Tabel 7). Menurut Erikson (1950), orangtua
berjuang dengan tuntutan ganda yaitu berupaya mencari kepuasan dalam mengasuh
generasi berikutnya (tugas perkembangan generasivitas) dan memperhatikan
perkembangan mereka sendiri ; sementara anak-anak usia sekolah bekerja untuk
mengembangkan sense of industry – kapasitas untuk menikmati pekerjaan
dan mencoba mengurangi atau menangkis perasaan rendah diri.
Tabel 7. Tahap IV Siklus Kehidupan Keluarga Inti dengan anak usia sekolah,
dan Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga yang Bersamaan.
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga |
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Keluarga dengan anak usia sekolah
|
1.
Mensosialisasikan anak-anak,
termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan mengembangkan hubungan dengan
teman sebaya yang sehat.
2.
Mempertahankan hubungan
perkawinan yang memuaskan.
3.
Memenuhi kebutuhan kesehatan
fisik anggota keluarga
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988), Duvall dan Miller
(1985)
Tugas orangtua pada tahap ini adalah
untuk belajar menghadapi pisah dengan atau lebih sederhana, membiarkan anak
pergi. Lama kelamaan hubungan dengan teman sebaya dan kegiatan-kegiatan diluar
rumah akan memainkan peranan yang lebih besar dalam kehidupan anak usia sekolah
tersebut. Tahun-tahun ini dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan keluarga, tapi ada
juga kekuatan-kekuatan yang secara perlahan-lahan mendorong anak tersebut pisah
dari keluarga sebagai persiapan menuju
masa remaja. Orangtua yang mempunyai perhatian diluar anak mereka akan merasa
lebih mudah membuat perpisahan yang perlahan-lahan. Akan tetapi, dalam
contoh-contoh dimana peran ibu merupakan sentral dan satu-satunya peran yang
signifikan dalam kehidupan wanita, maka proses pisah ini merupakan sesuatu yang
menyakitkan dan dipertahankan mati-matian.
Selama tahap ini orangtua merasakan
tekanan yang luar biasa dari komunitas di luar rumah melalui sistem sekolah dan
berbagai asosiasi di luar keluarga yang mengharuskan anak-anak mereka
menyesuaikan diri dengan standa-standar komunitas bagi anak. Hal ini cenderung
mempengaruhi keluarga-keluarga kelas menengah untuk lebih menekankan nlai-nilai
tradisional pencapaian dan produktifitas, dan menyebabkan sejumlah keluarga
dari kelas pekerja dan banyak keluarga miskin merasa tersingkir dari dan
konflik dengan sekolah dan / atau nilai-nilai komunitas.
Tugas-Tugas Perkembangan
Keluarga
Salah satu tugas orangtua yang sangat penting dalam
mensosialisasikan anak pada saat ini meliputi meningkatkan prestasi anak pada
saat ini meliputi meningkatkan prestasi anak di sekolah. Tugas keluarga yang
signifikan lainnya adalah mempertahankan hubungan perkawinan yang bahagia.
Sekali lagi dilaporkan bahwa kebahagiaan perkawinan selama tahap ini menurun.
Dua buah penelitian yang besar menguatkan observasi ini (Burr, 1970 ; Rollins
dan Feldman, 1970). Meningkatkan komunikasi yang terbuka dan mendukung hubungan
suami istri merupakan hal yang vital dalam bekerja dengan keluarga dan anak
usia sekolah.
e.
Tahap V : Keluarga dengan Anak Remaja
Ketika anak pertama melewati umur 13
tahun, tahap kelima dari siklus kehidupan keluarga dimulai. Tahap ini
berlangsung selama 6 hingga 7 tahun, meskipun tahap ini dapat lebih singkat
jika anak meninggalkan keluarga lebih awal atau lebih lama jika anak masih
tinggal di rumah hingga 19 atau 20 tahun. Anak-anak lain dalam rumah biasanya
masih dalam usia sekolah. Tujuan keluarga yang terlalu enteng pada tahap ini
yang melonggarkan ikatan keluarga memungkinkan tanggungjawab dan kebebasan yang
lebih besar bagi remaja dalam persiapan menjadi dewasa muda (Duvall, 1977).
Preto (1988) dalam membahas tentang
transformasi sistem keluarga dalam masa remaja, menguraikan metamorfosis
keluarga yang terjadi. Metamorfosis ini meliputi “pergeseran yang luar biasa
pada pola-pola hubungan antar generasi, dan
sementara pergeseran ini pada awalnya ditandai dengan kematangan fisik
remaja, pergeseran ini seringkali sejalan dan bertepatan dengan perubahan pada
orangtua karena mereka memasuki pertengahan hidup dan dengan transformasi utama
yang dihadapi oleh kakek nenek dalam usian tua”
Peran, Tanggungjawab dan Masalah Orangtua.
Tidak perlu dikatakan bahwa orangtua
mengasuh remaja merupakan tugas paling sulit saat ini. Namun demikian, orangtua
perlu tetap tegar menghadapi ujian batas-batas yang tidak masuk akan tersebut,
yang telah terbentuk dalam keluarga ketika keluarga mengalami proses
“melepaskan.” Duvall (1977) juga mengidentifikasi tugas-tugas perkembangan yang
penting pada masa ini yang menyelaraskan kebebasan dengan tanggungjawab ketika
remaja menjadi matang dan mengatur diri
mereka sendiri. Friedman (1957) juga mendefinisikan serupa bahwa tugas
orangtua selama tahap ini adalah belajar menerima penolakan tanpa meninggalkan
anak.
Tabel 8. Tahap Siklus V Kehidupan
Keluarga Inti dengan anak remaja danTugas-Tugas Perkembangan Keluarga yang
Bersamaan
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga |
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Keluarga dengan anak remaja
|
1.
Menyeimbangkan kebebasan dan
tanggungjawab ketika remaja menjadi dewasa dan semakin mandiri.
2.
Memfokuskan kembali hubungan
perkawinan.
3.
Berkomunikasi secara terbuka
antara orangtua dan anak-anak.
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988), Duvall dan Miller
(1985)
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga.
Tugas perkembangan yang utama dan
pertama adalah menyeimbangkan kebebasan dengan tanggungjawab ketika remaja
matur dan semakin mandiri (Tabel 8). Orangtua harus mengubah hubungan mereka
dengan remaja putri atau putranya secara progresif dari hubungan dependen yang
dibentuk sebelumnya ke arah suatu hubungan yang semakin mandiri. Pergeseran
yang terjadi pada hubungan anak-orangtua ini salah satu hubungan khas yang
penuh dengan konflik-konflik sepanjang jalan.
Tugas perkembangan keluarga yang
ketiga yang mendesak adalah untuk para anggota keluarga, khususnya orangtua dan remaja, untuk
berkomunikasi secara terbuka. Karena adanya kesenjangan antar generasi,
komunikasi terbuka seringkali hanya merupakan suatu cita-cita, bukan suatu
realita. Seringkali terdapat saling tolak menolak antara orang tua dengan
remaja menyangkut nilai dan gaya
hidup. Orangtua yang berasal dari keluarga dengan berbagai macam masalah
terbukti seringkali menolak dan
memisahkan diri dari anak mereka yang tertua, sehingga mengurangi
sauran-saluran komunikasi terbuka yang mungkin telah ada sebelumnya.
Masalah-Masalah Kesehatan.
Pada tahap ini kesehatan fisik anggota keluarga biasanya
baik, tapi promosi kesehatan tetap menjadi hal yang penting. Faktor-faktor
resiko harus diidentifikasikan dan dibicarakan dengan keluarga, seperti
pentingnya gaya
hidup keluarga yang sehat. Mulai dari usia 35 tahun, resiko penyakit jantung
koroner meningkat dikalangan pria dan pada usia ini anggota keluarga yang
dewasa merasa lebih rentan terhadap penyakit sebagai bagian dari
perubahan-perubahan perkembangan dan biasanya mereka ini menerima
strategi-strategi promosi kesehatan. Sedangkan pada remaja, kecelakaan-terutama
kecelakaan mobil-merupakan bahaya yang amat besar, dan patah tulang dan cidera
karena atletik juga umum terjadi.
Kemungkinan diagnosa
Ø Resiko trauma
Ø Gangguan komunikasi verbal
Ø Koping individu tidak efektif
Ø Perubahan menjadi orang tua
Ø Perubahan proteksi
Ø Perubahan proses keluarga : Alkoholisme
Peran perawat
Ø Pendidik tentang faktor-faktor
resiko terhadap kesehatan
Ø Pendidik dalam issu pemecahan
masalah mengenai alkohol, merokok, diit dan latihan
Ø Fasilitator tentang
keterampilan-keterampilan interpersonal dengan remaja dan orang tua
Ø Pendukung, konselor, perujukan
langsung pada sumber-sumber kesehatan mental
Ø Konselor pada keluarga berencana
Ø Perujukan untuk penyakit hubungan seksual
Ø Peserta dalam organisasi komunitas
pada pengendalian penyakit
f.
Tahap VI : Keluarga yang Melepaskan
Anak Usia Dewasa Muda
Permulaan dari fase
kehidupan keluarga ini ditandai oleh anak pertama meninggalkan rumah orangtua
dengan “rumah kosong”, ketika anak-anak terakhir meninggalkan rumah. Tahap ini
dapat singkat atau agak panjang, tergantung pada berapa banyak anak yang ada
dalam rumah atau berapa banyak anak yang melum menikah yang masih tinggal di
rumah setelah tamat dari SMA dan perguruan tinggi. Meskipun tahap ini biasanya
6 atau 7 tahun, dalam tahun-tahun belakangan ini, tahap ini berlangsung lebih
lama dalam keluarga dengan dua orangtua, mengingat anak-anak yang lebih tua
baru meninggalkan orangtua setelah selesai sekolah dan mulai bekerja. Motifnya
adalah seringkali ekonomi-tingginya biaya hidup bila hidup sendiri. Akan
tetapi, trend yang meluas dikalangan dewasa muda, yang umumnya menunda
perkawinan, hidup terpisah dan mandiri dalam tatanan hidup mereka sendiri. Dari
sebuah survey besar yang dilakukan terhadap orang Kanada ditemukan bahwa
anak-anak yang berkembangan dalam keluarga dengan orangtua tiri dan keluarga
dengan orangtua tunggal meninggalkan rumah lebih dini dari pada mereka yang
dibesarkan dalam keluarga dengan dua orangtua.
Fase
ini ditandai oleh tahun-tahun puncak persiapan dari dan oleh anak-anak untuk
kehidupan dewasa yang mandiri. Orangtua, karena mereka membiarkan anak mereka
pergi, melepaskan 20 tahun peran sebagai orangtua dan kembali pada
pasangan perkawinan mereka yang asli. Tugas-tugas perkembangan menjadi penting
karena keluarga tersebut berubah dari sebuah rumah tangga dengan anak-anak ke
sebuah rumah tangga yang hanya terdiri dari sepasang suami dan isteri. Tujuan
utama keluarga adalah reorganisasi keluarga menjadi sebuah unit yang tetap
berjalan sementara melepaskan anak-anak yang dewasa kedalam kehidupan mereka
sendiri (Duvall, 1977).
Tugas-Tugas
Perkembangan Keluarga.
Sebagaimana keluarga
membantu anak tertua dalam melepaskan diri, orangtua juga membantu anak mereka
yang lebih kecil agar mandiri. Dan ketiga anak laki-laki atau perempuan yang
“dilepas” menikah, tugas keluarga adalah memperluas siklus keluarga dengan
memasukkan anggota keluarga yang baru lewat perkawinan dan menerima nilai-nilai
dan gaya hidup dari pasangan itu sendiri (Tabel 9)
Tabel 9. Tahap VI Siklus Kehidupan Keluarga
Inti yang melepaskan anak usia dewasa muda dan Tugas-Tugas Perkembangan
Keluarga yang Bersamaan
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga |
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Keluarga melepas anak dewasa muda
|
1. Memperluas siklus keluarga dengan
memasukkan anggota keluarga baru yang didapatkan melalui perkawinan
anak-anak.
2. Melanjutkan untuk memperbaharui
dan menyesuaikan kembali hubungan perkawinan.
3. Membantu orangtua lanjut usia dan
sakit-sakitan dari suami maupun istri.
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988),
Duvall dan Miller (1985)
Masa ini
biasanya jauh lebih sulit bagi wanita daripada pria. Pada kebanyakan keluarga,
peran sentral dan abadi – abadi dalam
arti bahwa peran tersebut telah berlangsung selama 20 tahun-bagi wanita
adalah peran sebagai seorang ibu. Meskipun saat ini kurang lazim karena banyak
wanita sekolah atau meniti karier, identitas dan perasaan kompetensi wanita
didasarkan pada menjadi sebagai seorang ibu yang baik.
Pria dalam
masa usia pertengahan juga menghadapi krisis perkembangan. Salah satu
kemungkinan krisis tersebut adalah dorongan untuk maju dalam karier dan
realisasi bahwa mereka belum berhasil
dan belum mencapai aspirasi mereka. Juga tanda-tanda menurunnya
maskulinitas, seperti tenaga menurun, potensi dan gairah seks berkurangnya, dan
juga figur, rambut, tanda-tanda kulit menua dan cemas dalam hal keuangan ;
semuanya merupakan stressor bagi pria dalam tahap siklus kehidupan keluarga
ini, dan menekankan krisis perkembangan usia pertengahan yang terjadi.
Masalah-Masalah Kesehatan.
Masalah
utama kesehatan meliputi masalah komunikasi kaum dewasa muda dengan orangtua
mereka ; masalah-masalah transisi peran bagi suami istri, masalah orang yang
memberikan perawatan (bagi orangtua lanjut usia) dan munculnya kondisi
kesehatan tingkat kolesterol tinggi, obesitas dan tekanan darah tinggi.
Keluarga berencana bagi remaja dan dewasa muda tetap penting. Masalah-masalah
manupouse dikalangan wanita umum terjadi. Efek-efek yang dikaitkan dengan
kebiasaan minum, merokok yang lama dan praktek diet semakin lebih jelas.
Terakhir, perlunya strategi promosi kesehatan dan “gaya hidup sehat” menjadi
lebih penting bagi anggota keluarga yang dewasa.
g.
Tahap VII : Orangtua Usia Pertengahan
Tahap
ketujuh dari siklus kehidupan keluarga, tahap usia pertengahan bagi orangtua,
dimulai ketika anak terakhir meninggalkan rumah dan berakhir pada saat pensiun
atau kematian salah satu pasangan. Tahap ini biasanya dimulai ketika orangtua
memasuki usia 45-55 tahun dan berakhir pada saat seorang pasangan pensiun,
biasanya 16-18 tahun kemudian. Biasanya pasangan suami istri dalam usia
pertengahannya merupakan sebuah keluarga inti meskipun masih berinteraksi
dengan orangtua mereka yang lanjut usia dan anggota keluarga lain dari keluarga
asal mereka dan juga anggota keluarga dari hasil perkawinan keturunannya. Pasangan
postparental (pasangan yang anak-anaknya telah meninggalkan rumah)
biasanya tidak terisolasi lagi saat ini ; semakin banyak pasangan usia
pertengahan hidup hingga menghabiskan sebagian masa hidupnya dalam fase postparental,
dengan hubungan ikatan keluarga hingga empat generasi, yang merupakan hal yang
biasa (Troll, 1971).
Tugas-Tugas
Perkembangan Keluarga.
Pada
saat anak bungsu meninggalkan rumah, banyak wanita yang menyalurkan kembali
tenaga dan hidup mereka dalam persiapan untuk mengisi rumah yang telah
ditinggalkan anak-anak. Bagi sejumlah wanita, krisis usia pertengahan (telah
dibicarakan dalam tahap sebelumnya) dialami selama masa awal siklus kehidupan
ini. Wanita berupaya mendorong anak mereka yang sedang sedang tumbuh agar
mandiri dengan menegaskan kembali
hubungan mereka dengan anak-anak tersebut (tidak mengusik kehidupan
pribadi dan kehidupan keluarga mereka). Dalam upaya untuk mempertahankan
perasaan yang sehat dan sejahtera, lebih banyak wanita memulai gaya hidup yang
lebih sehat yaitu pengontrolan peran badan,
diet seimbang, program olahraga yang teratur, dan istirahat yang cukup,
dan juga memperoleh dan menikmati karier, pekerjaan, kecakapan yang kreatif.
Tugas perkembangan yang penting pada tahap ini adalah penentuan lingkungan
yang sehat (Tabel 10). Dalam masa inilah upaya untuk melaksanakan gaya hidup
sehat menjadi lebih menonjol bagi pasangan, meskipun kenyataannya bahwa mungkin
mereka telah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya merusak diri selama 45
– 65 tahun. Meskipun dapat dianjurkan sekarang, mereka “lebih baik sekarang
dari pada tidak pernah” adalah selalu benar, agaknya terlalu terlambat untuk
mengembalikan perubahan-perubahan fisiologis yang telah terjadi serti aertritis
akibat in aktivitas, tekanan darah tinggi karena kurangnya olahraga, stress
yang berkepanjangan, menurunnya kapasitas vital akibat merokok.
Tabel 10. Tahap VII Siklus Kehidupan Keluarga Inti dengan orang tua usia
pertengahan dan Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga yang Bersamaan
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga |
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Orangtua usia pertengahan
|
1.
Menyediakan lingkungan
yang meningkatkan kesehatan.
2.
Mempertahankan
hubungan-hubungan yang memuaskan dan penuh arti dengan para orangtua lansia
dan anak-anak.
3.
Memperkokoh hubungan
perkawinan.
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988), Duvall dan Miller
(1985)
Motivasi utama orang usia pertengahan
untuk memperbaiki gaya
hidup mereka adalah karena adanya perasaan rentan terhadap penyakit yang
dibangkitkan bila seorang teman atau anggota keluarga mengalami serangan
jantung, stroke atau kanker. Selain takut, keyakinan bahwa pemeriksaan yang
teratur dan kebiasaan hidup yang sehat merupakan cara-cara yang efektif untuk
mengurangi ketentuan terhadap berbagai penyakit juga merupakan kekuatan pendorong
yang ampuh. Penyakit hati, kanker dan stroke merupakan 2/3 dari semua penyebab
kematian antara usia 46 – 64 tahun, dan berbagai kematian urutan keempat (Pusat
Statistik Kesehatan Nasional, 1989).
Tugas perkembangan yang kedua
berkaitan dengan upaya melestarikan hubungan yang penuh arti dan memuaskan
antara orang tua yang lanjut usia dengan anak-anak. Dengan menerima dan
menyambut cucu mereka ke dalam keluarga dan meningkatkan hubungan antar
generasi, tugas perkembangan ini dapat mendatangkan penghargaa yang tinggi
Duvall (1977). Tugas perkembangan ini memungkinkan pasangan usia perpidahan
terus merasa seperti sebuah keluarga dan mendatangkan kebahagian yang berasal
dari posisi sebagai kakek – nenek tanpa tanggungjawab sebagai orangtua selama
24 jam. Karena umum harapan hidup meningkat, menjadi seorang kakek nenek secara
khusus terjadi pada tahap siklus kehidupan ini (Spray dan Mattews, 1982). Kakek
nenek memberikan dukungan besar kepada anak dan cucu mereka pada saat-saat
kritis dan membantu anak-anak mereka melalui pemberian dorongan dan dukungan
Bengstone dan Robertson, 1985)
Tugas perkembangan ketiga yang hendak
dibahas disini adalah tugas perkembangan untuk memperkokoh hubungan perkawinan.
Sekarang pasangan tersebut benar-benar sendirian setelah bertahun-tahun
dikelilingi oleh anggota keluarga dan
hubungan-hubungan. Meskipun muncul sebagai sambutan kelegahan, bagi kebanyakan
pasangan merupakan pengalaman yang menyulitkan untuk berhubungan satu sama lain
sebagai pasangan menikah dari pada sebagai orangtua. Wright dan Leahey, (1984)
melukiskan tugas perkembangan ini sebagai “reinvestasi identitas pasangan
dengan perkembangan keinginan independen yang terjadi secara bersamaan” (hal.
49). Keseimbangan tendensi-independency antara pasangan perlu di uji kembali,
seperti keinginan independent yang lebih besar dan juga perhatian satu sama
lain yang penuh arti.
Masalah-Masalah Kesehatan.
Masalah kesehatan yang disebut dalam seluruh deskripsi
tahap siklus kehidupan ini meliputi :
- Kebutuhan promosi kesehatan, istirahat yang cukup, kegiatan waktu luang dan tidur, nutrisi yang baik, program olahraga yang teratur, pengurangan berat badan hingga berat badan yang optimum, berhenti merokok, berhenti atau mengurangi penggunaan alkohol, pemeriksaan skrining kesehatan preventif.
- Masalah-masalah hubungan perkawinan.
- Komunikasi dan hubungan dengan anak-anak, ipar, dan cucu, dan orangtua yang berusia lanjut.
- Masalah yang berhubungan dengan perawatan ; membantu perawatan orangtua yang berusia atau tidak mampu merawat diri.
h.
Tahap VIII : Keluarga dalam Masa Pensiun
dan Lansia
Tahap
terakhir siklus kehidupan keluarga dimulai dengan salah satu atau kedua
pasangan memasuki masa pensiun, terus berlangsung hingga salah satu pasangan
meninggal, dan berakhir dengan pasangan lain meninggal (Duvall dan Miller,
1985). Jumlah lansia-berusia 65 tahun atau lebih di negara kami meningkat
dengan pesat dalam dua dekade terakhir ini, dua kali lipat dari sisa populasi.
Pada tahun 1970, terdapat 19,9 juta orang berusia 65 tahun, jumlah ini merupakan
9,8 persen dari seluruh populasi. Menjelang tahun 1990, menurut angka-angka sensus, populasi lansia
berkembangan hingga angka 31,7 juta (12,7 persen dari total populasi).
Menjelang tahun 2020, 17,2 persen penduduk negara ini berusia 65 tahun atau
lebih (gambar 1). Informasi tentang usia populasi menyatakan “penduduk yang
lebih tua” populasi 85 tahun ke atas secara khusus tumbuh dengan cepat.
Populasi berumur di atas 85 tahun tumbuh hingga 2,2 juta jiwa pada tahun 1980.
Diproyeksikan pada tahun 2020 populasi ini akan berjumlah hingga 7,1 juta jiwa
(2,7 persen dari seluruh populasi). Akibat dari semakin majunya pencegahan penyakit dan perawatan kesehatan,
lebih banyak orang yang diharapkan dapat bertahan hidup hingga 10 dekade.
Karena bertambahnya populasi lansia, maka semakin mungkin orang-orang yang
lebih tua akan memiliki minimal 1 orangtua yang masih hidup (Biro Sensus
Amerika, 1984)
![]() |
15
10
P
5
Tahun 1940 1950 1960
1970 1980 1990
Gambar 1. Pertumbuhan Populasi
lansia di Amerika Serikat, persentase populasi diatas 65 tahun (Biro Sensus
Amerika Serikat, 1991)
Persepsi
tahap siklus kehidupan ini sangat berbeda dikalangan keluarga lanjut usia.
Beberapa orang merasa menyedihkan, sementara yang lain merasa hal ini merupakan
tahun-tahun terbaik dalam hidup mereka. Banyak dari mereka tergantung pada
sumber-sumber finansial yang adekuat, kemampuan memelihara rumah yang
memuaskan, dan status kesehatan individu. Mereka yang tidak lagi mandiri karena
sakit, umumnya memiliki moral yang rendah dan keadaan fisik yang buruk sering
merupakan anteseden penyakit mental dikalangan lansia (Lowenthal, 1972).
Sebaliknya lansia yang menjaga kesehatan mereka, tetap aktif dan memiliki
sumber-sumber ekonomi yang memadai menggambarkan proporsi orang-orang yang
lebih tua dan substansial dan senantiasa berpikir positif terhadap kehidupan
ini.
Kehilangan-Kehilangan yang
Lazim bagi Lansia dan Keluarga.
Karena proses menua
berlangsung dan masa pensiun menjadi suatu kenyataan, maka ada berbagai macam
stressor atau kehilangan-kehilangan yang dialami oleh mayoritas lansia dan
pasangan-pasangan yang mengacaukan transisi peran mereka. Hal ini meliputi :
·
Ekonomi ; menyesuaikan terhadap
pendapatan yang turun secara substansial, mungkin kemudian menyesuaikan
terhadap ketergantungan ekonomi (ketergantungan pada keluarga atau subsidi
pemerintah).
·
Perumahan
; sering pindah ke tempat tinggal yang lebih kecil dan kemudian dipaksa pindah
ke tatanan institusi.
·
Sosial
; kehilangan (kematian) saudara, teman-teman dan pasangan.
·
Pekerjaan
; keharusan pensiun dan hilangnya peran
dalam pekerjaan dan perasaan produktifitas.
·
Kesehatan
; menurunnya fungsi fisik, mental dan kognitif ; memberikan perawatan bagi
pasangan yang kurang sehat.
Pensiun.
Dengan hilangnya peran sebagai
orangtua dan kerja, maka perlu ada suatu reorientasi dikalangan individu dan
pasangan lansia. Pensiun membutuhkan resosialisasi terhadap peran-peran baru
dan gaya hidup baru. Akan tetapi, perubahan macam apa yang dikehendaki,
benar-benar tidak jelas, karena peran dan norma-norma bagi lansia adalah
ambigu. Wanita yang benar-benar terpikat dengan peran sebagai ibu dan suami dan
atau istri yang terlibat penuh dalam pekerjaan mereka diprediksi memiliki
derajat kesulitan penyesuaian yang paling tinggi. Untuk mengisi pekerjaan yang
kosong, kini semakin banyak pria yang mengambil bagian dalam
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, menerima peran-peran yang lebih ekspresif,
suatu perubahan yang menuntut pertukaran peranan pada sisi wanita.
Tugas-Tugas Perkembangan
Keluarga.
Memelihara pengaturan kehidupan yang memuaskan
merupakan tugas paling penting dari keluarga-keluarga lansia (tabel 11).
Perumahan setelah pensiun seringkali
menjadi masalah. Dalam tahun-tahun segera setelah pensiun, pasangan
tetap tinggal di rumah hingga pajak harta benda, kondisi tetangga, ukuran dan
kondisi rumah atau kesehatan memaksa
mereka mencari akomodasi yang lebih sederhana. Meskipun mayoritas lansia memiliki rumah sendiri, namun sebagian besar dari
rumah-rumah tersebut telah tua dan rusak dan banyak yang terletak di daerah-daerah tingkat
kejahatan yang tinggi dimana lansia kemungkinan besar menjadi korban kejahatan.
Tabel 11. Tahap VIII Siklus Kehidupan Keluarga Inti dengan keluarga dalam masa
pensiun dan lansia, dan Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga yang Bersamaan
Tahap Siklus Kehidupan Keluarga |
Tugas-Tugas Perkembangan Keluarga
|
Keluarga Lansia
|
1.
Mempertahankan pengaturan
hidup yang memuaskan.
2.
Menyesuaikan terhadap
pendapatan yang menurun.
3.
Mempertahankan hubungan
perkawinan.
4. Menyesuaikan diri terhadap kehilangan
pasangan.
5. Mempertahankan ikatan keluarga antar
generasi.
6. Meneruskan untuk memahami eksistensi
mereka (penelaahan dan integrasi hidup).
|
Diadaptasi dari Carter dan McGoldrick (1988), Duvall
dan Miller (1985)
Pengaturan
hidup seseorang merupakan suatu prediktor kesejahteraan yang ampuh dikalangan lansia (Berresi et al,
1984). Relokasi merupakan pengalaman traumatik bagi lansia, apakah itu
perpindahan sukarela atau tidak. Itu berarti meninggalkan pertalian tetangga
dan persahabatan yang telah memberikan lansia rasa aman dan stabilitas.
Relokasi berarti berpisah dari warisan seseorang dan isyarat yang mendukung
kenangan lama (Lawton, 1980).
Tugas
perkembangan yang kedua bagi keluarga lansia adalah penyesuaian terhadap pendapatan yang menurun. Ketika
pensiun, terjadi penurunan pendapatan secara tajam dan seiring dengan
berlalunya tahun, pendapatanpun semakin menurun dan semakin tidak memadai
karena terus naiknya biaya hidup dan terkurasnya tabungan. Pada tahun 1989,
seperlima dari populasi Amerika Serikat tergolong miskin atau hampir miskin
(AARP, 1990).
Mempertahankan
hubungan perkawinan yang merupakan tugas perkembangan yang ketiga, menjadi
penting dalam kebahagiaan keluarga. Perkawinan yang dirasakan memuaskan dalam
tahun-tahun berikutnya biasanya mempunyai sejarah positif yang panjang, dan
sebaliknya. Riset membuktikan bahwa perkawinan mempunyai kontribusi yang besar
bagi moral dan aktifitas yang berlangsung dari kedua pasangan lansia (Lee,
1978).
Salah satu
mitos tentang lansia adalah bahwa dorongan seks dan aktivitas seksual mungkin
tidak ada lagi (atau tidak boleh ada). Akan tetapi, sebuah riset memperlihatkan
kebalikannya. Studi-studi semacam ini menemukan bahwa meskipun terjadi penurunan
kapasitas seksual secara perlahan-lahan, namun keinginan dalam kegiatan seksual
terus ada bahkan meningkat (Lobsenz, 1975). Sehat sakit kadang-kadang
menurunkan dorongan seksual, tapi biasanya, menurunnya aktifitas seksual
disebabkan oleh masalah-masalah sosio emosional.
4.
Tahap-Tahap Siklus Kehidupan Keluarga
pada Keluarga Cerai
Salah satu
variasi utama dalam siklus kehidupan keluarga akan kelihatan ketika orangtua
bercerai. Meskipun mayoritas keluarga masih tetap terdiri dari
pasangan-pasangan menikah, salah satu perubahan paling menonjol yang terjadi
lebih dari dua dekade adalah naiknya perceraian dan meningkatnya posisi wanita
sebagai kepala rumah tangga (88 persen keluarga orangtua tunggal adalah
keluarga yang terdiri dari ibu dan anak). Dari tahun 1970 hingga 1984 jumlah
keluarga dengan satu orangtua berlipat ganda (dari 3,2 juta pada tahun 1970
menjadi 6,7 juta pada tahun 1984) sementara itu jumlah pasangan yang cerai
meningkat hampir 300 persen (Biro Sensus Amerika Serikat, 1986). Kini, perceraian
merupakan hal yang lazim (hampir 50 persen perkawinan diakhiri dengan
perceraian) bahwa kejadian tersebut dipandang sebagai suatu transisi normatif.
Peck dan
Manocharian (1988) menekankan dampak perceraian secara emosional dan fisik
terhadap keluarga. “Perceraian mempengaruhi anggota keluarga disetiap tingkat
generasi seluruh keluarga inti dan keluarga besar, dengan demikian menghasilkan
krisis bagi keluarga secara keseluruhan dan juga setiap individu dalam keluarga
tersebut” .
Setelah
terjadi perceraian, riset terhadap sistem keluarga menemukan bahwa diperlukan
waktu antara 1 hingga 3 tahun bagi keluarga cerai untuk memantapkan keluarga
tersebut. Jika sebuah keluarga dapat mengatasi krisis dan transisi penyerta
yang harus dialami dalam rangka untuk memantapkan kembali, keluarga tersebut
akan membentuk sistem yang lentur yang akan memungkinkan suatu kesinambungan
proses perkembangan keluarga yang normal” (Peck dan Manocharian, 1988, hal.
335).
Ketika
perceraian menimpa keluarga dengan anak usia sekolah, dampak jangka panjang
perceraian jauh lebih hebat pada anak usia sekolah. Dalam sebuah penelitian
terungkap bahwa usia enam hingga delapan
tahun merupakan kelompok usia yang mempunyai waktu yang sulit dalam menyesuaikan
terhadap perceraian (Wallerstein dan Kelly, 1980). Anak-anak sudah cukup dewasa
ketika mereka menyadari apa yang sedang terjadi, namun mereka tidak bisa
mengatasi perceraian tersebut secara efektif.
Keluarga
dengan anak remaja biasa sudah dalam keadaan kacau balau, dan perceraian
memperburuk masalah tersebut. Untuk orangtua tunggal, mengasuh remaja merupakan
hal yang sulit. Pengasuhan anak secara bersama-sama juga merupakan masalah bila
remaja mempunyai masalah menyangkut tingkah laku. Pada mulanya, upaya
memperbaiki masalah tersebut lewat tugas perkembangan dan siklus kehidupan
keluarga, tertunda.
5.
Tahap-Tahap Siklus Kehidupan pada Keluarga dengan Orangtua Tiri.
Perceraian
biasanya merupakan keadaan transisi, yang kemudian diikuti oleh perkawinan
kembali. Perkawinan kembali begitu menonjol dipertengahan tahun 1980-an, dimana
hampir setengah dari seluruh perkawinan merupakan perkawinan kembali (Biro
Servis Amerika Serikat, 1986). Sebelum usia 40 tahun, baik suami maupun istri
sama-sama melakukan perkawinan kembali, tapi setelah usia 40 tahun perkawinan
kembali secara tidak seimbang merupakan suatu tradisi bagi pria (Agestad,
1988).
Tabel 12 Gangguan-Gangguan Siklus Kehidupan Keluarga oleh Perceraian,
Membutuhkan Langkah-Langkah Tambahan untuk menstabilkan kembali dan melewati
tahap perkembangan.
Fase
|
Proses Transisi Emosi Sikap Yang
Menjadi Prasayarat
|
Isu-Isu Perkembangan
|
|
1.
2.
3.
4.
|
Keputusan
untuk bercerai
Merencanakan
untuk mengakhiri sistem
Pisah
Perceraian
|
Penerimaan
ketidakmampuan menyelesaikan ketegangan-ketegangan dalam perkawinan untuk
meneruskan hubungan.
Mendukung
rencana-rencana yang viabel untuk semua bagian sistem.
a.
Keinginan untuk melanjutkan
hubungan sebagai orangtua yang bersifat kooperatif dan memberikan dukungan
keuangan kepada anak-anak secara bersama-sama.
b.
Mempengaruhi resolusi kasih
sayang terhadap pasangan.
Lebih
mempengaruhi terhadap perceraian emosional ; mengatasi perasaan terluka,
amarah, dan perasaan bersalah, dll
|
Penerimaan
bagian milik seseorang dalam kegagalan perkawinan
a.
Bekerja secara kooperatif pada
masalah-masalah tanggungjawab, kunjungan dan keuangan.
b. Menghadapi keluarga besar
dalam hal perceraian.
a. Bersedih karena merasa
kehilangan seluruh keluarga.
b. Restrukturisasi hubungan
perkawinan dan hubungan orang tua anak dan restrukturisasi keuangan ;
adaptasi terhadap hidup pisah.
c. Pembentukan kembali hubungan
dengan keluarga besar ; tetap berhubungan dengan keluarga dari pasangan.
a. Bersedih karena kehilangan
keluarga yang utuh ; menghentikan fantasi untuk berhubung kembali.
b. Menarik kembali harapan,
impian-impian dari perkawinan.
c. Tetap berhubungan dengan keluarga
besar.
|
1.
2.
|
Orangtua
tunggal (rumah tangga kustodial atau residen primer)
Orangtua
tunggal (nonkustodial)
|
Kerelaan untuk
tetap memelihara tanggungjawab finansial, terus melakukan kontak sebagai
orangtua dengan mantan pasangan dan mendukung kontak anak-anak dengan mantan
pasangan dan dengan keluarganya.
Kerelaan untuk
tetap menjaga kontak sebagai orangtua dengan mantan pasangan dan mendukung
hubungan orangtua dengan anak-anak yang bersifat melindungi.
|
a.
Membuat jadwal kunjungan yang
fleksibel dengan mantan pasangan dan keluarganya.
b.
Membangun kembali sumber-sumber
finansial sendiri.
c.
Membangun kembali jaringan sosial
sendiri.
a.
Mencari cara-cara untu melanjutkan
hubungan sebagai orangtua yang efektif dengan anak-anak.
b. Mempertahankan tanggungjawab
finansial terhadap anak-anak dan mantan pasangan
c.
Membangun jaringan sosial sendiri
|
(Dari : Carter B dan McGoldrick H, eds The Changing Family Life
Cycle, 2nd ed, New York, Gardner Press, 1988, p.22)
Tabel 13. Pembentukan Keluarga
Perkawinan Kembali : Garis Besar Perkembangan
Langkah-Langkah
|
Sikap yang menjadi prasayarat
|
Isu-Isu Perkembangan
|
1.
Memasuki hubungan baru
2. Mengkonseptualisasi dan merencanakan perkawinan
dan keluarga baru.
3. Kawin kembali dan membangun keluarga kembali
|
Pulih dari kehilangan perkawinan pertama
(“perceraian emosional” yang adekuat)
Menerima perasaan takut sendiri dan rasa takut
dari pasangan dan anak-anak yang baru akan perkawinan kembali dan membentuk
sebuah keluarga tiri.
Menerima bahwa perlu waktu dan kesabaran untuk
penyesuaian terhadap kompleksitas dan ambiguitas dari :
1.
Peran baru yang multipel
2.
Batas-batas : ruang, waktu,
keanggotaan dan wewenang.
3.
Masalah-masalah afektif : rasa
bersalah, konflik-konflik loyalitas keinginan untuk melakukan hal yang
bersifat mutualitas, perasaan terluka di masa lalu yang belum hilang.
Penyelesaian akhir ikatan kasih dengan mantan pasangan dan “keutuhan”
keluarga ; penerimaan model keluarga yang berbeda dengan batas-batas yang
permeabel.
|
Komitmen terhadap perkawinan dan upaya pembentukan sebuah keluarga
dengan kesiapan untuk menghadapi kompleksitas dan ambiguitas.
a.
Mengupayakan keterbukaan dalam
hubungan-hubungan baru untuk menghindari hubungan timbal balik yang palsu.
b.
Rencana
pemeliharaan kerja sama finansial dan hubungan sebagai orangtua dengan mantan
pasangan.
c.
Rencana
untuk membantu anak-anak untuk menghadapi cemas, konflik-konflik loyalitas
dan keanggotaan dalam dua sistem.
d.
Pembentukan
kembali hubungan dengan keluarga besar untuk memasukkan pasangan dan
anak-anak yang baru.
a.
Restrukturisasi
batas-batas keluarga untuk memungkinkan memasukkan pasangan/ orang tua tiri
baru.
b.
Pembentukan
hubungan baru dan pengaturan keuangan di seluruh subsistem agar bisa
menciptakan jalinan beberapa sistem.
c.
Menciptakan
ruang bagi hubungan semua anak-anak dengan orangtua kandung, kakek-nenek, dan
keluarga besar lainya.
d.
Berbagi
kenang-kenangan dan sejarah untuk memperkokoh
penyatuan keluarga tiri.
|
B.
AREA PENGKAJIAN
Dalam keseluruhan proses
pengkajian, berfokus pada siklus kehidupan keluarga akan mempertinggi pemahaman
seorang profesional kesehatan keluarga tentang stress yang menimpa keluarga dan
masalah-masalah keluarga yang aktual atau potensial. Dalam menyelesaikan bagian
perkembangan dari pengkajian keluarga, area-area yang dianjurkan adalah sebagai
berikut :
1.
Tahap
perkembangan keluarga saat ini.
2.
Sejauhmana
keluarga memenuhi tugas-tugas perkembangan keluarga untuk tahap perkembangan
saat ini. Adalah penting untuk memperhatikan deviasi-deviasi dari norma, karena
deviasi ini dapat menjadi petunjuk adanya hambatan atau masalah.
3.
Riwayat
keluarga sejak lahir hingga saat ini termasuk tugas perkembangan keluarga dan
kesehatan serta kejadian dan pengalaman yang berhubungan dengan kesehatan (mis,
perceraian, kematian, kehilangan) yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Beberapa dari informasi ini (perceraian,
perkawinan, kematian) dapat dimasukkan ke dalam genogram keluarga .
4.
Keluarga
asal kedua orangtua (seperti apa kehidupan keluarga asal, hubungan masa lalu
dan kini dengan kakek-nenek.)
Mungkin akan lebih signifikan
untuk menggali riwayat perkembangan keluarga. Adalah penting untuk memastikan
apakah keluarga yang sedang anda tangani terbuka terhadap ekplorasi masa lalu
dan apakah pengumpulan data historis anda dalam bidang tertentu relevan untuk
memahami dan bekerja dengan keluarga.
Perlu diulangi kembali bahwa
data perkembangan data riwayat keluarga dapat dikumpulkan sedikit demi sedikit
dengan (1) menanyakan
pengalaman-pengalaman dan tugas-tugas yang umum dan bagaimana hal-hal ini
dicapai dan dirasakan dan (2) menanyakan masalah-masalah atau pengalaman
keluarga yang khusus atau unit. Yang kedua meliputi perceraian, kematian dalam
keluarga itu atau keluarga besar, pisah karena sakit atau dinas militer,
pengangguran dan lain-lain. Menanyakan orangtua tentang hubungan mereka di masa
lalu dan sekarang dengan orientasi keluarga mereka dan bagaimana bentuk
kehidupan keluarga besar memberikan perawat keluarga apresiasi dan pemahaman
yang baik tentang orangtua mereka selama tahun-tahun pertumbuhan mereka.
Untuk menggali riwayat
keluarga, Satir (1983) mengawalinya dengan memberi kesempatan pertama pada
orangtua untuk berbicara tentang hubungan perkawinan mereka, memfokuskan pada
hubungan ini karena orangtua merupakan arsitek keluarga. Satir dan orangtua
dengan anak-anak hadir (jika ada, membahas bidang-bidang berikut ini :
·
Pertemuan
pertama pasangan, hubungan mereka sebelum menikah, dan bagaimana mereka
memutuskan untuk menikah.
·
Halangan-halangan
apa saja terhadap perkawinan mereka. Respons mereka terhadap pergaulan.
·
Perkawinan tanpa anak, bagaimana mereka
membuat tugas dan peran.
·
Seperti apa kehidupan
dilingkungan di keluarga, termasuk orientasi keluarga dari kedua orangtua.
·
Siapa orang lain yang hidup
bersama keluarga.
·
Hubungan dengan para ipar.
·
Deskripsi tentang orangtua dari
masing-masing pasangan dan hubungan mereka dengan orangtua tersebut.
·
Rencana untuk mempunyai anak.
Apakah kelahiran anak-anak direncanakan? Apa dampak dari lahirnya setiap anak?
·
Berapa
lama anak-anak berkumpul bersama-sama?
·
Rutinitas keluarga sehari-hari.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
KELUARGA
Salah satu tujuan penting dari keperawatan keluarga
adalah membantu keluarga dan anggotanya bergerak ke arah penyelesaian
tugas-tugas perkembangan individu dan keluarga (Friedman, 1987). Penguasaan
satu kumpulan tugas-tugas perkembangan keluarga memungkinkan keluarga bergerak
maju kearah tahap perkembangan berikutnya. Jika tugas-tugas perkembangan
keluarga tidak dipenuhi maka akan menghasilkan keluarga yang disfungsional
(Mattessich dan Hill 1987).
Untuk mencapai tujuan ini, perawat keluarga “membantu
keluarga mencapai dan mempertahankan keseimbangan antara keutuhan pertumbuhan
pribadi dari anggota keluarga secara individual dan fungsi keluarga yang
optimum” (kebutuhan perkembangan keluarga) (Divisi Praktik Keperawatan
Kesehatan Ibu dan Anak American Nurses “Association, (1983) keseimbangan antara
individu dan kelompok tidak dengan mudah dicapai, khususnya selama tahap-tahap
tertentu, yang menciptakan perbedaan bila terjadi ketidakseimbangan.
Bila bekerja dengan keluarga atau individu yang
bermasalah, teori perkembangan keluarga membantu para profesional kesehatan
keluarga berpikir tentang kejadian siklus kehidupan keluarga yang telah
membentuk konteks dimana masalah-masalah keluarga dan individu terjadi. Oleh karena itu, memasukkan perspektif
perkembangan ke dalam praktik keperawatan keluarga sangat penting selama fase
diagnostik dan perencanaan.
STRES DAN KOPING
A. KONSEP DASAR STRES DAN KOPING
Stres
adalah keadaan atau respon ketegangan yang disebabkan oleh stressor atau oleh
tuntutan aktual yang dirasakan yang tetap tidak teratasi (Antonovsky, 1979;
Burr, 1973). Sters adalah ketegangan dalam diri seseorang atau system sosial
(keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menimbulkan tekanan
(Burgess, 1978). Agen pemerkasa atau presipitasi yang mengaktifkan proses sters
disebut stressor (Burr et al, 1993; Chrisman & Fowler, 1980). Agen presipitasi
yang mengaktifkan stress dalam keluarga adalah peristiwa hidup atau kejadian
yang cukup kuat untuk menyebabkan perubahan dalam system keluarga (Hill, 1949).
Stressor keluarga dapat berupa peristiwa atau pengalaman pinterpersonal
(didalam atau diluar keluarga), lingkungan, ekonomi atau social budaya.
Persepsi
anggota keluarga adalah interpretasi anggota keluarga secara tunggal atau
secara kolektif atau menyusun pengalaman mereka. Persepsi mewarnai sifat dan
signifikasi stressor keluarga yang mungkin, karena keluarga bereaksi tidak
hanya terhadap stressor aktual, tetapi juga terhadap pereistiwa saat keluarga
merasakan atau menginterpretasikannya. Persepsi keluarga merupakan hal yang
terpenting. Peristiwa yang dipandang secara subjektif atau objektif oleh
keluarga yang sehat sebagai tantangan, dipandang oleh keluarga yang terpajan
krisis sebagai ancaman dan membebani. Koping terdiri atas pemecahan upaya
pemecahan masalah yang sangat relevan dengan kesejahteraan, tetapi membebani
sumber seseorang. Koping didefinisikan sebagai respon (kognitifperilaku atau
persepsi) terhadap ketegangan hidup eksternal yang berfungsi untuk mencegah,
menghindari, mengandalkan distress emosional.
Koping
adalah sebuah istilah yang terbatas pada perilaku atau kognisi aktual yang
ditampilkan seseorang, bukan pada sumber yang mungkin mereka gunakan. Koping
keluarga menunjukkan tingkat analisa kelompok keluarga (atau sebuah tingkat
analisis interaksional). Koping keluarga didefinisikan sebagai proses aktif
saat keluarga memamfaatkan sumber yang ada dan mengembangkan perilaku serta
sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa
hidup penuh stress (McCubbin,1979).
B. FASE WAKTU STRES DAN STRATEGI KOPING
1. Periode Antrestres
Periode stress sebelim benar-benar melawan
stressor, antisipasi kadang mungkin terjadi, terdapat kesadaran terhadap bahaya
yang mengancan atau ancaman situasi yang dirasakan. Jika keluarga atau orang
yang membantu dapat mengidentifikasi stressor yang akan dating, bimbingan
antispasi serta strategi koping pencegahan dapat dicari atau diberikan untuk
memperlemah atau mengurangi dampak stressor.
2. Periode Stres Aktual
Strategi koping selama periode stress biasanya
berbeda intensitas dan jenisnya dari strategi yang digunakan sebelum awitan stressor
dan stress. Mungkin terdapat stratergi defensive dan bertahan yang sangat dasar
digunakan selama periode ini jika stress dalam keluarga sangat berat. Dengan
energi yang luar biasa besar yang dikeluarkan dalam menangani stressor dan
stre, banyak fungsi keluarga (beberapa dapat penting bagi kesehatan keluarga)
sering kali diabaikan atau dilakukan secara tidak adekuat sampai keluarga
memiliki sumber untuk mengatasi stressor dan stress. Respon koping yang
paling membantu selama periode stress sering kali interkeluarga dan mencari
sumber dukungan spiritual.
3. Periode Pascastres
Strategi koping yang diterpkan setelah periode
stress akut, disebut fase pascatruama yang terdiri dari satrategi untuk
mengembalikan keluarga ke keadaan homeostasis yang seimbang. Untuk meningkatkan
kesejatreaan kel;uarga selam fase ini, keluarga perlu saling bekerja sama,
saling mengungkapkan perasaan dan memecahkan masalah atau mencari atau
memamfaatkan dukungan keluarga untuk memperbaiki situasi penuh stress. Empat
kemungkinan hasil akhir pascatrauma antar lain;
a. Keluarga berfungsi pad tingkat yang
lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
b. Keluarga berfungsi pada tingkat yang
lebih rendah dari pada sebelumnya
c. Keluarga berfungsi pada tingkat yang
sama dengan prastres
d. Perpecahan keluarga (seperti:
perpisahan, perceraian dan pengabaian).
Ketika keluarga mengakhiri fungsinya pada
tingkat kesejahteraan rendah atau dalam keadaan perpecahan keluarag, anggota
keluarga sering kali membutuhkan bantuan professional untuk membantu keluarga
meningkatkan rangkaian strategi koping yang efektif (Reiss, Streinglass &
Howe, 1993).
C. TEORI STRES KELUARGA
1.
Teori stress keluarga Hill
Teori
stress keluarga Hill (1999) klasik merupakan model yang paling singkat dan
fasih dalam menguraikan factor-faktor yang menyebabkan krisis dalam keluarga.
Berdasarkan perpisahan dan penyatuan, ia menyusun teori stress keluarga yang
disebut ABCX yaitu mengidentifikasi kumpulan variabel besar (factor A, B,
C,D dan X) dan hubungan yang menyebabkan krisis/bukan krisi keluarga. Secara
teoritis diuraikan proses penyesuaian “roller coaster” pasca krisi
yang dilewati keluarga. Dua bagian kerangka teoritis masih tetap jelas
tidak berubah selam 50 tahun terakhir. Kerangka ABCX ini memilki dua bagian,
antara lain:
a. Pernyataan yang berhubunagan dengan
penentu krisis keluarga: A (peristiwa dan kesuliatan yang terkait) yang
berinteraksi dengan B ( sumber berhadapan dengan krisis keluarga) yang
berinteraksi dengan C ( definisi yang dibuat keluarga mengenia peristiwa
tersebut) menghasilkan X (krisis) (Hill,1965).
b. Pernyataan yang lebih berorientasi
proses terkait dengan jalannya penyesuaian secara krisis. Hill (1965)
menjelaskan bahwa perjalanan penyesuaian keluarga setelah sebuah krisis
meliputi periode disorganisasi, sudut pemulihan, reorganisasi dan tingkat baru
fungsi keluarga.
2. Model Relisience Stress, Penyesuaian dan Adaptasi Keluarga
Model
relisience stress, penyesuaian dan adap-tasi keluarga adalah kerangka teoritis
yang juga menekan penyesuaian dan adap[tasi keluarga saat keluarga mengalami
situasi hidup penuh stress. Model relisienca disusun berdasarkan karya awal
Hill mengenai model stress ABCX saerta model selanjutnya. Penekanan utama model
ini adalah pada resilience keluarga atau kemampuan mereka untuk pulih dari
peristiwa yang menyedihkan. Model ini adalah model berbasis kekuatan dan
kemampuan yang mempengaruhi proses resilience.
Model
resilience didasarkan empat asumsi yang mendasarkan mengenai kehidupan
keluarga, antara lain:
a. Keluarga menghadapi kesulitan dan
perubahan keluarga sebagai aspek kehidupan keluarga yang dialami dan dapat
diprediksi sepanjang siklus kehidupan
b. Keluarga mengembangkan kekuatan yang
dirancang untuk meningkatkan tumbuh kembang anggota dan unit keluarga serts
melindungi keluarga dari gangguan utama dalam mengahadapi transisi dan
perubahan keluarga
c. Keluarga mengembangkan kekuatan dan
kemampuan dasar serta unit yang dirancang untuk melindungi keluarga dari
stresorb dan ketegangan yang tidak diharapkan atau normative dan meningkatkan
adaptasi keluarga setelah suatu krisis keluarga atau transisi dan perubahan
besar
d. Keluarga mendapatkan mamfaat dan
berperan pada jaringan hubungan dan sumber dalam komunitas, terutama selama
periode stress dan krisis keluarga (McCubbin,1991).
D. STRESOR DAN DAMPAKNYA
Selama
50 tahun lebih para peneliti telah menyadari bahwa besarnya perbedaan
kuantitas dan kualitas stressor yang dimiliki individu. Pada tahun 1949 awal,
para peneliti secara sistematis meneliti kualitas dan kuantitas perubahan hidup
sreta dampaknya pada kesehatan individu (Holmes dan Rahe, 1967). Dari studi
ini, bobot diberlakukan terhadap berbagai peristiwa hidup (baik perubahan hidup
yang positif maupun negatif) yang menyebabkan kesehatan yang buruk. Dari studu
awal ini, pera peneliti mengembangkan alat berbasis keluarga yang mengkaji
perubahan hidup dalam keluarga. Alat pengkajian yang sering digunakan
adalah family inventory of live events and changes (FILE)
(McCubbin, Patterson, & Wilson, 1983). FILE adalah instrument
yang dapat digunakan untuk mengkaji atau akumulasi stressor keluarga.
Pada
masing-masing 71 peristiwa hidup dalam FILE diberi bobot berdasarkan bagimana
stress tersebut. Tujuh peristiwa hidup yang paling menimbulkan stress dalam
skala hidup FILE total adalah:
1.
Kematian seorang anak
2.
Kematian salah satu orang tua atau pasangan
3.
Pasangan atau orang berpisah atau bercerai
4.
Adanya penganiayaan fisik atau seksual atau kekerasan dalam keluarga
5.
Anggota keluarga mengalami cact fisik atau penyakit kronik
6.
Pasangan atau orang tua berselingkuh
7.
Anggota dipenjara atau penahanan sementara pada anak-anak.
Keluarga
yang memiliki akumulasi peristiwa hidup yang lebih tinggi telah ditemukan
memiliki fungsi keluarga yang rendah dan kesehatan anggota keluarga yang buruk.
E. STRATEGI KOPING KELURGA
1.
Strategi Koping keluarga internal
Strategi
koping keluarga internal memiliki tiga jenis strategi, yaitu strategi hubungan,
kognitif dan komunikasi.
a.
Strategi hubungan
1)
Mengandalkan kelompok keluarga
Kleuarga
tertentu saat mengalami tekanan mengatasi dengan menjadi lebih bergantung pada
sumber mereka sendiri. Bersatu adalah satu dari proses penting dalam badai
kehidupan keluarga. Keluarga berhasil melalui masalah dengan menciptakan
struktur dan organisasi yang lebih besar dirumah dan keluarga. Ketika keluarga
menetapkan struktur yang lebih besar, hal ini merupakan upaya untuk
memiliki pengendalian yang lebih besar terhadap keluarga mereka. Upaya
ini biasanya melibatkan penjadwalan waktu anggota yang lebih ketat, lebih
banyak tugas per anggota keluarga, organisasi ikatan yang lebih ketat, dan
rutinitas ynag lebih kuku dan terprogram. Bersamaan dengan lebih ketatnya
batasan keluarga, menimbulkan kebutuhan pengaturan dan pengendalian
anggota keluarga yang lebih besar, disertai harapan bahwa anggota lebih
disiplin dan menyesuaikan diri. Jika berhasil, keluarga menerapkan pengendalian
yang lebih besar dan mencapai integrasi dan kohesivitas yang lebih besar.
2)
Kebersamaan yang lebih besar
Salah
satu membuat keluarga semakin erat dan memelihara sreta mengelola tingkat
stress dan moral yang dibutuhkan keluarga adalah dengan berbagi perasaan
dan pemikiran serta terlibat dalam pengalaman aktivitas keluarga. Kebersamaan
yang lebih besar menghasilkan kohesi keluarga yang lebih tinggi, atribut
keluarga yang mendapatkan perhatian yang luas sebagai atribut keluarga inti
(Olson, 1993). Hubungan yang paling penting membutuhkan kohesivitas dan
saling berbagi dalam system keluarga.kohesivitas keluarga yang tinggi khususnya
membantu saat keluarga pernah trauma, karena anggota sangat memerlukan
dukungan. Aktivitas anggota keluarga diwaktu luang merupakan sumber koping yang
sangat penting guna memperbaiki kohesi, moral, dan kepuasaan kelurga. Seperti
yang banyak dikatakan orang, peribahas “sebuah kelurga yang berperan bersama,
tetap barsama” mengandung banyak sekali kebenaran. Strategi koping ini akhirnya
bertujuan membangun integrasi, kohesivitas, dan resilienceyang lebih besar
dalam keluarga.
3)
Fleksibitas peran
Perubahan
yang cepat dan pervasif dalam masyarakat serta dalam keluarga, khususny
pada pasangan, merupakantipe strategi keluarga yang sangat kuat. Olson (199)
dan Walsh (1998) telah menekankan bahwa fleksibitas peran adalah satu dari
dimensi utama adaptasi keluarga. Keluarga harus mampu beradaptasi terhadap
perubahanperkembangan dan lingkungan. Ketika keluarga berhasil mengatasi,
keluarga mampu memelihara suatu keseimbangan dinamik antara perubahan dan
stabilitas. Fleksibitas peran memungkinkan kesimbangan ini berlanjut.
b. Strategi kognitif
1)
Normalisasi
Strategi koping keluarga fungsional lainnya adalah kecenderunagan bagi
keluarga untuk normalisasi suesuatu sebanyak mungkin saat mereka mengatasi
stressor jangka panjang yang cenderung mengganggu kehidupan keluarga dan
aktivitas rumah tangga. Normalisasi adalah proses terus menerus yang melibatkan pengakuan pentakit
kronik tetapi menegaskan kehidupan keluarga sebagai kehidupan keluarga yang
normal, menegaskan efek social memiliki anggota yang memiliki atau menderita
penyakit kronik sebagi suatu yang minimal, dan terlibat dalam perilaku yang
menunjukkan kepada orang lain bahwa keluarga tersebut adalah normal. Keluara
menormalkan dengan memenuhi ritual dan rutinitas. Hal ini membantu keluarga
mengatasi stress dan meningkatkan rasa keutuhan sepanjang waktu, sangat penting
guna menormalisasi situasi keluarga (Fiase, 2000).
2)
Pengendalian makna masalah dengan membingkai ulang dan penilaian pasif
Keluarga
yang menggunakan strategi koping ini cenderung melihat aspek positif dari
peristiwa hidup penuh stress dan membuat peristiwa penuh stress menjadi tidak
terlalu penting dalam hierarki nilai keluarga. Hal ini ditandai dengan naggota
keluarga yang memiliki rasa percaya dalam mengatasi kekganjilan denga
mempertahankan pandangan optimistic terhadap peritiwa, terus memiliki harapan
dan berfokus pada kekuatan dan potensi.
Pembingkaian
ulang adalah cara persepsi koping individu dan sering kali dipengaruhi oleh
keyakinan keluarga. Keluarga memiliki persepsi bersama, dan proses pembingkaian
ulang akan dipengaruhi oleh persepsi ini. Rolland menekankan bahwa
keyakinan individu dan keluarga berfungsi sebagai peta kognitif yang
membimbing tindakan dan keputusan keluarga.
3)
Pemecahan masalah bersama
Pemecahan masalah bersama diantara anggota keluarga adalah styrategi
konitif dan komunikasi keluarga yang telah diteliti secara ekstensif melalui
metode penelitian laboratorium oleh kelompok peneliti keluarga (Klien, 1983;
Reis, 1981; Strauss, 1968) dan dalam lingkungan alami ( Chesler & Barbari,
1987). Pemecahan
masalah keluarga yang efektif meliputitujuh langkah spesifik :
a)
Mengidentifikasi masalah
b)
Mengkomunikasikan tentang masalah
c)
Menghasilkan solusi yang mungkin
d)
Memutuskan satu dari solusi
e)
Melakukan tindakan
f)
Memantau atau memastikan bahwa tindakan dilakukan
g)
Mengevaluasi seluruh proses pemecahan masalah
Dengan
memasukkan strategi pemecahan masalah ini dalam kehidupan keluarga, keluarga
dipercaya dapat berfungsi secar efektif. Reiss menyebutkan keluarga yang
menggunakan proses pemecahan masalah yang efektif sebagi keluarga yang peka
terhadapa lingkungan. Tipe keluarga ini seperti melihat sifat masalah sebagi
sesuatu “dia luar sana” dan tidak mencoba membuat masalah menjadi
internal.
4)
Mendapatkan informasi dan pengetahuan
Keluarga
yang berbasis kognitif berespon terhadap stress dengan mencari pengetahuan
informasi berkenaan dengan stressor dan kemungkinan stressor. Hal ini khususny
terbukti dalam kasus masalah kesehatan berat atau yang mengancaam hidup. Dengan
mendapatkan informasi yang bermamfaat, dapat meningkatkan perasaan memiliki
beberapa pengendalan terhadap situasi dan mengurangi rasa takut keluarga terhadap
sesuatu yang tidak diketahui dan juga mengurangi rasa takut keluarga terhadap
sesuatu yang tidak diketahui serta membantu keluarega menilai stressor (
maknanya) lebih akurat dan mengambil tindakan yang diperlukan.
c. Strategi Komunikasi
1)
Terbuka dan jujur
Anggota
keluarga yang menunjukkan keterbukaan, kejujuran, pesan yang jelas dan perasaan
serta afeksi yang lebih besar dibutuhkan pada masa ini. Satir mengamati bahwa
komunikasi keluarga yang fungsional adalah langsung, terbuka,jujur dan jelas.
Keterbukaan adalah komunikatif dalam berbagai ide dan perasaan. Pemecahan
masalah kolaboratif, yang dibahas sebagai strategi koping kognitif, juga
merupakan strategi koping kognitif, juga merupakan strategi komunikasi, yang
memfasilitasi koping dan adaptasi keluarga.
2)
Menggunakan humor dan tawa
Studi
mengenai resilience menekankan bahwa humor tidak terhingga nilainya dalam
mengatasi penderitaan (Walsh, 1998). Humor tidak hnya dapat menyokong semangat,
humor juga dapat menyokong sistem imun seseorang dalam mendorong penyembuhan.
Demikian juga bagi keluarga, rasa humor adalah sebuah aspek yang penting. Humor
dapat dapat memperbaiki sikap keluarga terhadap masalah dan perawatan kesehatan
serta mengurangi kecemasan dan ketegangan. Humor dan tawa dapat dipandang
sebagai alat perawatan diri untuk mengatasi stress karena kemampuan tertawa
dapat memberikan seseorang perasaan memiliki kekuatan terhadap situasi. Humor
dan tawa dapat menyokang sikap positif dan harapan bukan perasaan tidak berdaya
atau depresi dalam situasi penuh stress.
2. Strategi Koping Keluarga Eksternal
a.
Strategi komunitas
Kategori
ini merujuk pada upaya koping keluarga yang terus menerus, jangka panjang, dan
umum bukan upaya seseorang menyesuaikan untuk mengurangi stressor khusus
siapapun. Pada kasus ini, anggota keluarga ini adalah peserta aktif (sebagai
anggota aktif atau posisi pimpinan) dalam klub, organisasi dan kelompok
komunitas. Hubungan komunitas yang kreatif dapat dibuat untuk memnuhi kebutuhan
anggota keluarga seperti meminta anggota keluarga lansia yang kurang memiliki
kontak keluarga memberiakan bantuan disentra perawatan anak yang kekurangan
staf (Walsh, 1998).
b.
Memanfaatkan sistem dukungan social
1)
Dukungan social keluarga
Dukungan social keluarga merujuk pada dukungan social yang dirasakan oleh
anggota keluarga ada atau dapat diakses (dukungan social dapat atau tidak
digunakan, tetapi anggota keluarga dapat menerima bahwa orang pendukung siap
memberikan bantuan dan pertolongan jika jika dibutuhkan). Dukungan sosial keluarga dapat
dating dari dalam dukungan social keluarga seperti dukungan pasangan atau
dukungan subling atau dari luar dukungan social keluarga yaitu dukungan
social berada diluar keluarga nuklir (dalam jaringan social keluarga).
2)
Sumber dukungan keluarga
Menurut
Caplan (1974) terdapat tiga sumber dukungan social umum. Sumber ini terdiri
atas jaringan informalyang spontan. Dukungan terorganisasi yang tidak diarahkan
oleh petugas kesehatan professional dan upaya terorganisasi oleh professional
kesehatan. Dari semua ini jaringan informal (diidentifikasi diatas kelompok
yang memberikan jumlah bantuan terbanyak selama masa yang dibutuhkan.
Caplan (1976) menjelaskan bahwa keluarga memiliki fungsi pendukung meliputi:
a) Dukungan social (keluarga berfungsi
sebagi pencari dan penyebar informasi mengenai dunia)
b) Dukungan penilaian (keluarga
bertindaksebagai sistem pembimbingumpan balik, membimbing dan merantarai
pemecahan masalahdan merupakan sumber sera validator identitas anggota)
c) Dukungan tambahan (keluarga adalah
sunber bantuan praktis dan konkret)
d) Dukungan emosional (keluarga
berfungsi sebagai pelabuhan istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan
emosional)
e) Meningkatkan moral keluarga
c.
Dukungan spiritual
Berbagai
studi menunjukkan hubungan yang jelas antara kesejahteraan spiritual dan
peningkatan kemampuan individu atau keluarga untuk mengatasi stress dan
penyakit. Agama adalah dorongan yang kuat dan pervasif dalam membentuk keluarga
(Miller, 2000). Cara koping yang berbasis spiritual bervariasi secara
signifikan lintas budaya. Penelitian mengenai koping keluarga dan individu
serta resilience secara konsisten menunjukkan bahwa dukungan spiritual adalah
penting dalam mendukung kepercayaan keluarga sehingga mereka dapat mengatasi
penderitaan.
F. STRATEGI KOPING DISFUNGSIONAL KELUARGA
Keluarga
menggunakan berbagai strategi koping disfungsional khusus dalam upaya untuk
mengatasi masalah mereka. Pada sebagian besar kasus, strategi ini dipilih
secara tidak sadar, sering kali sebagai respons yang digunakan keluarga asal
mereka dalam upaya perlu diperhatikan bahwa strategi koping disfungsional
keluarga ini digunakan untuk mengurangi stress dan ketegangan keluarga.
Strategi koping disfungsional yang sering digunakan adalah:
1.
Penyangkalan masalah keluarga
Penyangkalan
adalah mekanisme pertahanan yang digunakan oleh anggota keluarga dan keluarga
sebagai satu kesatuan. Pada basis jangka pendek, penyangkalan keluarga sering
kali fungsional, karena ini memungkinkan keluarga membeli waktu untuk
melindungi dirinya sementara secara bertahap menerima peristiwa yang menimbulkan
kepedihan. Tetapi juga berlangsung lama, penyangkalan bersifat disfungsional
bagi keluarga.
2.
Pola dominasi atau kepatuhan ekstrem (otoritarinisme)
Otoritariniasme adalah kecenderungan seseorang untuk berhenti mandiri
karena ketidakberdayaan dan ketergantungan, serta keinginana untuk bergabung
dengan seseorang atau sesuatu diluar dirinya agar mendapatkan kekuasaan atau
kekuatan yang dirasakan kurang. Dalam keluarga otoriter, orang mengundurkan diri dari integritas pribadi
mereka dan menjadi bagian dari simbiosis yang tidak sehat, patuh kepada
dominasi. Anggota keluarga yang patuh sangat bergantung pada individu yang
dominan.
3.
Perpecahan dan kecanduan dalam keluarga
Untuk
mengurangi ketegangan atau stress dalam keluarga, anggota keluarga boleh jadi secara
fisik atau psikososial saling terpisah. Perpisahan ini mencakup kehilangan
anggota keluarga karena pengabaian, perpisahan atau perceraian dan gangguan
psikososial anggota keluarga lewat keterlibatan anggota dalam kecanduan
(misalnya alcohol, obat-obatan dan berjudi). Banyak orang mengenali bahwa
kecanduan alcohol dan obat-obatan adalah penyakit, hanya sedikit sekali yang
mengenali sebagai “penyakit keluarga” (Al-Anon Family Groups,2000). Saat ini
kecanduan anggota keluarga dipahami sebagai masalah sistem keluarga bukan
masalah individu. Alcohol dan obat-obatan telah memiliki pola intergenerasi.
Penyalahgunaan minuman pada dewas muda telah ditemukan dipengaruhi oleh
disfungsi dalam keluarga asal.
4.
Kekerasan dalam keluarga
Menggunakan
ancaman, mengkambinghitamkan dan otoriterisme ekstrem dapt menyebabkan
kekerasan dalam keluarga. Kekereasan dalam keluarga dapat dikenali sebagai satu
dari empat masalah kesehatan masyarakat utama saat ini (Galles,2000;
Walsh,1996). Terdapat enam tipe kekerasan dalam kelurga, antara lain:
a.
Penganiayaan pasangan
b.
Penganiayaan dan pengabaian anak
c.
Penganiayaan saudara kandung
d.
Penganiayaan lansia
e.
Penganiayaan orang tua
f.
Penganiayaan homoseksual
G. FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOPING
1.
Perbedaan Gender dalam koping
Pria
dan wanita menggunakan strategi koping yang berbeda. Wanita lebih menganggap
lebih bermamfaat berkumpul bersam orang lain, berbagi kekhawatiran dan
kesulitan mereka dengan kerabat atau teman dekat, mengungkapkan perasaan dan
emosi yang positif dan negatif secara terbuka, dan menghabiskan waktu guna
mengembangkan diri dan hobi. Disi lain pria cenderung menggunakan strategi yang
lebih menarik diri seperti menyimpan perasaannya, mencoba menjaga orang lain
mengetahui seberapa buruk kejadiannya dan mengkonsumsi alcohol lebih banyak.
2.
Variasi Sosial Budaya Dalam Koping Keluarga
Variasi
kelas social dalam koping keluarga juga ada. Misalnya keluarga ynag lebih
kaya dan berpendidikan khasnya memilikin kebutuhan yang lebih besar untuk
mengatur dan mengendalikan peristiwa kesehatan mereka sehingga menggunakan
lebih banyak strategi koping keluarga dalam mendapatkan informasi dan
pengetahuan. Keluarga miskin juga dapat merasakan kurang percaya diri akan
kemampuan mereka untuk mengendalikan takdirnya, dan dalam kasusu ini
dapatmenggunakan pengendalian makana denganpenelaian pasif.
3.
Dampak Gangguan Kesehatan
Seperti
yang telah disebutkan, tipe koping yang digunakan individu yang bergantung pada
situasi. Denagn lebuh sedikit tuntutanyang diminta oleh keluarga (misalnya;
semua berjalan dengan baik dan anggota keluarga sehat), tipe pola koping
tertentu yang bertahan lama dapat secara khas diterapkan, seperti memelihara
jalinan aktif dengan komunitas. Akan tetapi dengan semakin banyaknya kemalangan
(baik stressor kesehatan maupun tipe stressor lainnya seperti ekonomi,
lingkungan dll), cara koping yang umum biasanya tidak cukup, dan semakin luas
susunan strategi koping keluarga dihasilkan guna menghadapi tantangan.
H. AREA PENGKAJIAN KELUARGA
Terdapat
skala koping keluarga yang terstruktur dan teruji, yang digunakan untuk
penelitian dan praktik klinis serta pertanyaan pengkajian yang disertakan, dan
informasi yang dikumpulkan dari anggota keluarga melalui wawancara, serta
laporan atau data dari sumber lain. Pertanyaan yang menyertai relevan untuk dipertimbangkan
saat menilai stressor, kekuatan, persepsi, strategi koping dan adaptas.
1.
Stressor, Kekuatan, dan Persepsi Keluarga
a. Stersor (baik jangka panjang maupun
poendek) apa yang dialami oleh keluarga? Lihat family inventory of life scale
untuk contoh stressor yang signifikan. Pertimbangkan stressor lingkungan dan
sosioekonomi. Bagaiman kekuatan dan durasi dari stressor ini?
b. Kekuatan apa ynag menyebabakan
stressor? Apakah keluarga mampu mengatasi stress biasa dan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari keluarga? Sumber apa yang dimiliki keluarga untuk
mengatasi stressor?
c. Apa definisi keluarga mengenai
situasi tersebut? Apakah dilihat sebagai tantangan secara realistic dan penuh
harapan? Apakah keluarga mampu bertindak bardasarka penilaian realistic dan objektif
mengenai situasi dan peristiwa penuh stress? Apakah stressor utama dilihat
sangat membebani, mustahil untuk diatasi, atau sedemikian rupa mengganggu?
2.
Strategi Koping Keluarga
a. Bagaiman keluarga bereaksi terhadap
stressor yang dialaminya? Strategi koping apa yang digunakan? Strategi koping
apa yang diterapkan keluarga dan untuk mengatasi tipe masalah apa? Apakah
anggota keluarga berada dalam cara koping mereka saat ini? Jika demikian,
bagaimana keluarga mengatasi perbedaab itu?
b. Sejauh man keluarga menggunakan
strategi koping internal:
1)
Mengandalkan kelompok keluarga
2)
Berbagi perasaan, pemikiran, dan aktivitas
3)
Fleksibilitas peran
4)
Normalisasi
5)
Mengendalikan makn masalah denagn pembimbing ulang dan penilaian pasif
6)
Pemecahan masalah bersam
7)
Mendapatkan informasi dan pengetahuan
8)
Terbuka dan jujur dalam komunikasi keluarga
9)
Menggunakan humor dan tawa
c.
Sejauh man keluarga menggunakan keluarga menggunakan strategi koping
eksternal dan sistem dukungan informal berikut:
1)
Memelihara jalinan aktif dengan komunitas
2)
Menggunakan dukungan spiritual
3)
Menggunakan sistem dukungan social
4)
Apakah keluarga memiliki ikatan yang bermakna dengan teman, kerabat,
tetangga, kelompok social dan organisasi komunitas yang memberikan dukungan dan
bantuan jika dibutuhkan?
5)
Jika demikian, siapa mereka dan bagaimana sifat hubungan mereka? Apakah
keluarga memiliki sedikit atau tidak memiliki teman, tetangga, kerabat,
kelompok social atau organisasi komunikasi? Jika demikian, mengapa? Apakah
keluarga mempunyai ketidakpuasan atau kemarahan terhadap sumber dukungan social
yang ada?
6)
Apa layanan dan petugas kesehatan yang membantu keluarga?
7)
Apa fungsi dan kekuatan dari hubungan ini?
d.
Strategi koping disfungsional apa yang telah digunakan keluarga atau apa
yang sedang digunakan? Apakah ada tanda-tanda disfungsionalitas berikut? Jika
demikian, catat keberadaannya dan seberapa ekstensif digunakannya?
1)
Mengambinghitamkan
2)
Penggunaan ancaman
3)
Orang ketiga
4)
Psedumutualitas
5)
Otoriterianisme
6)
Perpecahan keluarga
7)
Penyalahgunaan alcohol dan atau obat-obatan
8)
Kekerasan dalam keluarga
9)
Pengabaian anak
3.
Adaptasi
a. Bagimana pengelolaan dan fungsi
keluarga? Apakah stressor atau masalah keluarga dikelola secara adekuat oleh
keluarga? Apa dampak dari stressor pada fungsi keluarga?
b. Apakah keluarga berada dalam krisis?
Apakah masalah yang ada bagian ketidakmampuan kronikmenyelesaikan masalah?
4.
Mengidentifikasi Stresor, Koping dan Adaptasi
Ketika
perawat keluarga bekerja dengan keluarga sepanjang waktu, akan sangat
bermamfaat untuk mengidentifikasi atau memantau bagaimana keluarga bereaksi
terhadap stressor, persepsi, koping dan adaptasi. Apakah keluarga mulia pulih,
menghasilkan proses koping yang berguna, atau apakah tetap pada tingkat adptasi
yang sama atau menunjukkan tanda-tanda penurunan daptasi?
I. DIAGNOSIS KEPERAWATN KELUARGA
Menurut
klasifikasi NANDA (NANDA, 2000), terdapat 12 diagnosis keperawatan yang
berhubungan erat dengan masalah stress, koping, dan adaptasi keluarga antara
lain:
1.
Ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapi keluarga
2.
Kesiapan untuk meningkatkan koping keluarga
3.
Gangguan koping keluarga
4.
Ketidakmampuan koping keluarga
5.
Resiko kekerasan terhadap orang lain
6.
Gangguan proses keluarga
7.
Proses keluarga yang tidak fungsional: alkoholisme
8.
Berduka disfungsional
9.
Gangguan pemeliharaan rumah
10. Distress spiritual
11. Resiko distress spiritual
12. Kesiapan untuk meningkatkan
kesejahteraan spiritual
J. INETRVENSI KEPERAWATAN KELUARGA
Intervensi
keluarga didasarkan pada data pengkajian keluarga yang terkait dengan stressor
keluarga, persepsi stressor, koping, dan adaptasi. Seperti yang dibahas dalam
pengkajian serta diagnosis keperawatan keluarga yang teridentifikasi.
1.
Membantu Keluarga Menurunkan Factor
Resiko
Perawat
keluarga dapat, dengan menggunakan persfektif pencegahan, memberikan konsling
pada keluarga mengenai perlunya menurunkan pejanan terhadap atau kelebihan
tekanan. Selain itu penting untuk memberikan penyuluhan antisipasi. Berkenaan
dengan ini, perawat keluarga dapat membantu keluarga dengan menolong mereka
mengidentifikasi dan siap terhadap situasi yang mengancam. Satu cara membantu keluarga
mengantasipasi apa yang mungkin terjadi adalah dengan member ikan mereka
informasi mengenai peristiwa yang mungkin terjadi (Wlsh, 1998)
2.
Membantu Keluarga Beresiko Untuk
Mengatasi
a.
Dorong semua anggota keluarga terlibat
Merupakan
cara untuk melibatkan anggota keluarga mencakup:
1)
Mendorong perawatan oleh anggota keluarga selama hospitalisasi
2)
Menyertakan anggota keluarga, bersama dengan pasien terlibat dalam
keputusan perawatan jesehatan
3)
Mendorong anggota keluarga yang lansia memelihara hubungan keluarga yang
dekat
4)
Member penyuluhan kepada pemberi asuhan
5)
Mendorong istirahat untuk pemberi perawatan primer dengan meminta anggota
keluarga lain yang bertugas
6)
Mendorong anggota keluarga saling berbagi cerita kehidupan mereka
b. Mobilisasi keluarga
Dengan membatu keluarga mengenali, mengidentifikasi, dan memamfaatkan
kekuatan dan sumber keluarga guna secar positif mempengaruhi kesehatan keluarga
yang sakit (Johson, 2001)
c. Beri pujian pada upaya dan
pencapaian keluarga
d. Berdasarkan pengakuan dan poenghormatan terhadap
nilai, kepentingan, dan tujuan keluarga serta dukungan keluarga
Johson et.al 2001, mencantukan banyak cara umum yang dapat dilakukan oleh
perawat berorientasi keluarga. Beberapa anjuran mereka yang paling relevan
adalah:
1)
Meningkatkan harapan yang realistic
2)
Mendengarkan anggota keluarga yang berhububngan dengan persepsi, perasaan,
kekhawatiran dan kepentingan mereka
3)
Memfasilitasi komunikasi antara anggota keluarga
4)
Mengorientasi anggota keluarga pada linhkungan dan sistem perawatan
kesehatan
5)
Memberikan informasi yang dibutuhkan
6)
Memberikan advokasi bagi keluarga
7)
Memperkenalkan anggota keluarga ke keluarga lain yang mengalami masalah
yang serupa
8)
Merujuk keluarga ke kelompok perawatan dari pendukung
9)
Berikan keluarga sumber atau referensi literature dan internet
e.
Ajarkan keluarga mengenai car, koping yang efektif
Program ini tidak sekedar mengenali kebutuhan keluarga mendapatkan
pengetahuan kesehatan yang dibutuhkan untuk perawatan, tetapi aspek psikososial
perawatan dan kekhawatiran keluarga (Campbell,2000).
f.
Dorong keluarga menormalisasi kehidupan keluarga dan distress keluarga
sebanyak mungkin
g.
Bantu keluarga membingkai ulang dan member label ulang situasi masalah
h.
Bantu keluarga mendapatkan dukungan spiritual yang mereka butuhkan
i.
Rujuk keluarga yang mengalami krisis
j.
Bantu keluarga meningkatkan dan memamfaatkan sistem dukungan social mereka.
3.
Pemamfaatan Kelompok Swa-Bantu
Perawat
sangatlah menyadari mamfaat kelompok swa-bantu bagi anggota keluarga yang
membutuhkan dukungan guna mengatasi atau mengkoping pengalaman hidup penuh
stress. Intervensi khusus dapat sangat memfasilitasi keluarga:
a. Mencari informasi tentang kelompok
yang memberikan bantuan bagi individu dan keluarga
b. Kolaborasi dengan kelompok tersebut
c. Memahami bagaimana kelompok ini
meningkatkan dan melengkapi layanan professional
d. Merujuk anggota keluarga dan
keluarga ke kelompok yang tepat
e. Menciptakan kelompok baru untuk
melakukan saat terjadi kekurangan kelompok swa-bantu
f. Memberikan konsling anggota keluarga
4.
Terapi Keluarga Jaringan Sosial
Terapi
jaringan social berlangsung di lingkungan rumah dengan keluarga dan jaringan
social luasnya, yang dipasangkan untuk menciptakan matriks social yang mengasuh
dan sehat.
5.
Prinsip-Prinsip Intervensi Krisis Keluarga
a. Mengidentifikasi peristiwa yang
mencetuskan dan peristiwa hidup yang membahayakan
b. Mengkaji interpretasi keluarga
terhadap peristiwa
c. Mengkaji sumber keluarga dan metode
koping terhadap stressor
d. Mengkaji status fungsi keluarga
6.
Pemberdayaan Keluarga
Figley (1989), menyiratkan bahwa pemberdayaan keluarga adalah sebanyak
sikap filosofis terhadap bekerja dengan keluarga trauma saat keluarga terlibat
dalam aktivitas khusus tertentu. Ketika ia memandang dan menerapi keluarga yang bermasalah, pendekatannya
diperlembut oleh penghormatan tulusnya terhadap kemampuannya bertindak secara
alami dan kekuatan keluarga.
7.
Melindungi Anggota Keluarga Yang Berisiko Mengalami Kekerasan
Tujuan
ini dapat dicapai
dengan:
a.
Mengenali dan melaporkan penganiayaan anak
b.
Mendukung dan merujuk pasangan, lansia, saudara kandung, orang tua,
homoseksual yang dianiaya, pelaku penganiayaan dan unit keluarga
c.
Mengkoordinasi perawatan bagi keluarga dan anggota keluarga, bekerja secara
kolaborasi dengan petugas kesehatan lain dan pekerja kesejahteraan
8.
Merujuk Anggota Keluarga Yang Menunjukkan Masalah Koping Dan Disfungsi Yang
Lebih Kompleks
Ketika stress dan masalah koping keluarga di luar layanan yang dapat
diberikan perawat keluarga, perujukan dan tindak lanjut konsling atau terapi
keluarga yang berkelanjutan sering kali diindikasikan. Perujuk kekonselor yang menggunakan pendekatan
sistem keluarga seringkala sangat membantu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Banyak perubahan evolusioner dan revolusioner berlansung dimasyarakat kita
dan berhubungan dengan keluarga sepanjang waktu. Bagaimana keluarga mengatasi
perubahan penuh stress yang berbeda, walaupun dipercayai bahwa umumnya keluarga
amerika dapat bertindak secara efektif dan fleksibel dalam adaptasi mereka
terhadap perubahan. Walaupun begitu rentang respon yang luas terjadi saat kemalangan
yang berat. Beberarapa keluarga beradaptasi sangat baik terhadap stressor dan
ketegangan dan mengubah pola fungsi, menggunakan sumber dan strategi koping
yang membantu mengelola stress tersebut.
Keluarga lain mengguanakan strategi koping yang membahayakan atau
disfungsional yang hanya dapat mengurangi stress sementara. Hasil akhir bagi
keluarga ini dapat termasuk kekerasan dalam keluarga, perpecahan keluarga dan
kecanduan.
Keluarga dan anggota keluarga menggunakan susunan strategi koping keluarga
yang luas guna mengatasi situasi penuh stress. Strategi perilaku, kognitif,dan
emosional diidentifikasi dan dibahas terkait dampaknya terhadap fungsi
keluarga. Strategi koping keluarga dapat dibagi menjadi strategi koping
keluarga internal dan eksternal, yang bergantung pada apakah strategi
intrakeluarga atau ekstrakeluarga.
Perawat keluarga dan professional perawatan kesehatan lain yang melakukan
hubungan denagan keluarga baik di lingkungan lembaga maupun komunitas berada
dalam posisi kunci untuk mengkaji stressor, persepsi, kekuatan dan koping serta
adaptasi keluarga dan melakukan intervensi pada keluarga ini dengan memberikan
adaptasi keluarga yang lebih optimal.
B. Saran
Diharapkan kepada mahasiswa agar bisa menggunakan makalah ini dan
juga menjadikannya sebagai pedoman dalam memberikan intervensi keperawatan
tentang proses dan strategi koping yang bisa digunakan pada keluarga
dengan gangguan masalah kesehatan dan dalam memberikan pendidikan serta
konsling untuk merubah perilaku atau koping yang digunakan apabila keluarga
menggunakan strategi koping disfungsional dan mempertahankan strategi koping
keluarga ynag menggunakan strategi koping yang fungsional atau positif .
DAFTAR PUSTAKA
Friedman. M, Marilyn. 1998. Keperawatn Keluarga. Jakarta. EGC
Friedman. M, Marilyn. 2002. Keperawatn Keluarga. Edisi 3.
Jakarta. EGC
Friedman, M, Marilyn. 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset,
Teori & Praktek. Edisi 5. Jakarta. EGC
Murwani, arita. 2009. Pengantar konsep dasar
keperawatan. Pengantar konsep dasar keperawatan. Yogyakarta:
fitraatmaja
Setiawati, santun. 2008. Asuhan keperawatan keluarga.Jakarta:
tim-2008
Tamher, sayuti dkk.2009.pengkajian keperawatan jadi individu, keluarga
& komunitas. Jakarta: tim-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar